Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ikut Tren Olahraga Lari Hanya Karena FoMO, Ini Risikonya

Foto : The Conversation/Shutterstock/Pavel1964

‘Event’ maraton semakin marak diadakan, baik di level lokal, nasional, regional maupun internasional.

A   A   A   Pengaturan Font

Yogie Pranowo, Universitas Multimedia Nusantara

Olahraga lari kini menjadi salah satu aktivitas fisik yang paling banyak digemari, baik dari kalangan artis maupun warga biasa. Di media sosial, terutama, kita bisa melihat banyak informasi dibagikan terkait olahraga yang satu ini.

Dokter sekaligus selebgram bernama Tirta, misalnya, sering membagikan tips terkait aktivitas lari, misalnya soal bagaimana cara mencegah serangan jantung ketika lari. Ada pula Ibnu Jamil, pembawa acara olahraga, selebritas, dan pemain film, yang selalu menjaga kebugaran tubuhnya dengan berolahraga lari.

Komunitas lari juga semakin banyak bermunculan. Sebut saja model runners.id, komunitas lari para model atau Indorunners yang sudah rutin berlari sejak 2009 namun semakin dikenal masyarakat sejak menjamurnya olahraga lari.

Tak ketinggalan event lari internasional seperti Jakarta International Marathon, London Marathon, dan Bali Marathon yang selalu mendapatkan antusiasme tinggi dari masyarakat.

Tren olahraga lari ini membuat banyak orang tergoda untuk ikut serta, sehingga menciptakan suatu kondisi yang disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO) atau perasaan khawatir untuk tidak mengikuti tren yang ada, sebab di dalam tren tersebut diyakini terdapat pengalaman yang menarik untuk dialami secara personal.

Dorongan FoMO

Ketika melihat teman atau tokoh inspiratif di media sosial mengikuti ajang maraton untuk mencapai jarak lari tertentu, kita sering kali merasa terdorong untuk ikut serta dengan berbagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berupa keinginan untuk pamer konten di media sosial, menambah teman yang memiliki hobi serupa, ataupun sungguh-sungguh ingin melihat kemampuan diri dalam berlari.

Apapun alasannya, ketika seseorang mengalami FoMO untuk berolahraga lari maka efek yang ditimbulkan sekurang-kurangnya akan membuat tubuh menjadi sehat dan bugar.

Artinya, ketika seseorang terdorong oleh rasa ingin tahu untuk mencoba hal baru, khususnya dalam hal olahraga lari, maka ini akan berdampak pada kesehatan fisik yang lebih baik. Bahkan jika dorongan FoMO dapat membuat seseorang konsisten berlari, bukan tidak mungkin ia akan meraih pencapaian-pencapaian pribadi yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan.

Apalagi saat ini, mudah untuk berjejaring dengan orang yang memiliki hobi yang sama dari komunitas maya. Ini membuat banyak orang merasa lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam acara lari atau meningkatkan performa lari mereka.

Misalnya, banyak peserta yang terinspirasi untuk mengikuti maraton setelah melihat cerita sukses dari pelari-pelari yang mereka ikuti di media sosial.

Ada risiko tetapi bisa dimitigasi

Namun, di sisi lain, berolahraga lari karena FoMO bukan tanpa risiko. Tekanan untuk selalu mengikuti tren atau mencapai pencapaian tertentu bisa membuat seseorang merasa cemas berlebihan.

Penelitian menunjukkan bahwa pelari yang sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial cenderung mengalami penurunan rasa percaya diri dan kepuasan terhadap performa mereka, bahkan di titik tertentu dapat mengalami gangguan kesehatan mental.

Selain itu, tekanan untuk tampil sempurna di media sosial bisa menyebabkan stres berlebihan dan bahkan risiko cedera fisik akibat latihan berlebihan.

Bahkan akhir-akhir ini muncul fenomena joki Strava. Jasa "joki Strava" mengacu pada layanan berbayar untuk melakukan aktivitas lari menggantikan orang lain, tetapi menggunakan akun Strava milik pemesan.

Fenomena ini menjadi topik perbincangan hangat di kalangan warganet karena sebagian orang merasa bahwa layanan semacam ini mendukung keinginan berlebihan seseorang untuk mendapatkan validasi dan pujian. Mereka beranggapan bahwa menggunakan jasa joki untuk aktivitas lari menipu dan tidak jujur, karena pencapaian yang ditampilkan di akun Strava sebenarnya bukan milik orang yang tercatat di akun tersebut, melainkan hasil dari usaha orang lain yang dibayar.

Strategi mengendalikan FoMO

Untuk mengatasi FoMO, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Pendekatan mindfulness

Teknik mindfulness dalam berolahraga yang juga dapat berarti sebagai kondisi sadar untuk memperhatikan apa yang sedang terjadi dalam diri kita dan lingkungan sekitar -tanpa menghakimi atau menilai dengan penuh kasih-, dapat membantu pelari fokus pada pengalaman pribadi mereka saat berlari dan menikmati setiap langkah tanpa terbebani oleh ekspektasi sosial.

Dengan mindfulness, pelari bisa lebih menikmati proses berlari itu sendiri tanpa harus terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.

2. Mengatur waktu penggunaan media sosial

Membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial dan memilih konten yang inspiratif serta positif dapat menjaga keseimbangan mental dan emosional. Dengan membatasi paparan terhadap konten yang memicu FoMO, kita dapat menghindari tekanan yang tidak perlu.

Misalkan saja, menurut klikdokter.com cukup dua jam sehari untuk menggunakan media sosial, agar tidak terjebak pada jebakan impulsif psikologis yang berlebihan.

3. Membangun komunitas lari offline

Bergabung dengan klub lari lokal atau mengadakan acara lari bersama tanpa harus membagikannya di media sosial bisa membantu kita merasakan dukungan sosial yang nyata. Dalam lingkungan ini, kita bisa menikmati olahraga dengan cara yang lebih alami dan merasa lebih terhubung dengan orang lain.

Contohnya adalah komunitas lari CEO Runners, yang telah berdiri sejak 2014, yang bukan hanya aktif di kegiatan lari, tetapi aktif juga pada kegiatan donor darah sebagai bagian dari aktivitas kebersamaan antar anggotanya.

Dengan memahami dan mengelola pengaruh media sosial dalam fenomena FoMO, kita dapat menjadikan olahraga lari sebagai aktivitas yang lebih menyenangkan dan bermanfaat tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang berlebihan.

Selain itu, kita dapat lebih menikmati proses dan prestasi diri sendiri tanpa harus selalu membandingkannya dengan pencapaian orang lain di media sosial.The Conversation

Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top