Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Idul Fitri Momen Merayakan Kemanusiaan

Foto : istimewa

Buku ini mengaikatkan juga puasa dengan cinta. Bertindak tidak demi kepenting diri, berarti mencintai diri sendiri dan orang lain. Tidak semua yang diinginkan harus dimiliki karena di situ ada hak orang lain yang harus diberikan.

A   A   A   Pengaturan Font

Idul Fitri disebut hari kemenangan karena bersihnya hati dari beragam hasrat negatif, sehingga kembali kepada jati diri manusia yang autentik. Tak ada Lebaran bagi diri yang masih belepotan dengan beragam hasrat merusak, koruptif, dan nonhumanis. Kesadaran demikian sangat penting untuk melenyapkan egoisme, kepongahan, kerakusan, pamer, hedonisme serta karakter negatif lainnya.

Untuk sampai ke level kesejatian diri tersebut, puasa sebulan penuh harus terlebih dulu dilewati dengan beragam latihan spritual. Buku ini menjelaskan, puasa semestinya tidak hanya dimaknai dengan menahan diri dari makan, minum dan seks. Puasa semacam tombol me-reset jati diri manusia yang sudah tertutupi beragam casing pangkat, kekayaan, popularitas, gelar keilmuwan, kekuasaan dan atribut lainnya agar kembali ke pengaturan awal sebagai manusia (hlm 56).

Menjadi manusia berarti memandang sesama sederajat, tidak merasa diri lebih jemawa karena lebih berkuasa. Egoisme harus diganti altruisme. "Tahap paling awal mudik adalah belajar kembali menjadi manusia. Manusia saja atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut ibu di kampung dengan terlebih dulu melepas baju penguasa," (hlm 64).

Hakikatnya, semua manusia aslinya tidak punya apa-apa. Selama hidup diberikan amanah berupa ragam anugerah untuk memakmurkan dan menyejaterahkan sesama sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Namun, godaan dan nafsu jahat seringkali lebih mendominasi. Akibatnya, anugerah tersebut justru untuk merusak. Alih-alih berhikmat kepada sesama, sebagian justru mengeksploitasi sesama untuk kepentingan pribadi. Semua itu membuat manusia lupa tentang diri sebenarnya.

Maka, Idul Fitri bermakna kembali ke fitrah dengan saling memaafkan, berpelukan, dan melepaskan beban kekhilafan. "Mudik" berarti kembali ke asal muasal hakikat manusia yang disimbolkan pulang kampung. Semua hakikatnya penjelmaan dari puncak kemenangan setelah berjuang sebulan melawan kebuntuan, menemukan jalan keluar dari, melepaskan dari ikatan duniawi, dan kemenangan mengalahkan diri sendiri (hlm 75).

Buku ini mengaikatkan juga puasa dengan cinta. Bertindak tidak demi kepenting diri, berarti mencintai diri sendiri dan orang lain. Tidak semua yang diinginkan harus dimiliki karena di situ ada hak orang lain yang harus diberikan. Bahkan pada tingkatan abdullah atau hamba Allah, semua keinginan diri dilenyapkan digantikan kehendak Allah. Allah berkehendak manusia menjadi pelayan orang lain.

Para nabi menjadi pelayan umat, tanpa pamrih. Dunia akan damai andai peran demikian dimainkan sesama manusia. Saling melayani bakal membentuk sistem sosial humanis-rabbaniyah, sehingga tak terbetik dalam pikiran untuk merugikan orang lain. Dalam konteks ini, puasa adalah proses menjadi pelayan sesama. Pascalebaran, komitmen untuk melayani sesama diharapkan bisa terus dipertahankan, sehingga bersambung hingga puasa mendatang.

Buku ini memaknai Lebaran dengan cakupan sangat luas, sebagai keberhasilan mengembalikan jati diri, interaksi sosial, sistem politik, dan kebangsaan pada level humanis. Buku juga berisi dekonstruksi konsepsional tentang lambang-lambang agama dan disalingkaitkan dengan persoalan sosial-kebangsaan.

Diresensi Redy Ismanto, Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri

Surabaya

Komentar

Komentar
()

Top