Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ideologi Uang Abaikan Pancasila

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Sumiati Anastasia Sebagai orang yang mengaku beriman atau percaya pada Tuhan, kita bisa sangat gembira melihat betapa semaraknya kehidupan beragama negeri ini. Di sisi lain, ada yang aneh karena korupsi tetap merajalela. Meskipun ada Komisi Pemberantasan Korupsi dan telah memenjarakan banyak koruptor seta tiap hari ada operasi tangkap tangan (OTT), para koruptor baru terus bermunculan. Seolah negeri ini tidak pernah kekurangan stok koruptor.

Yang membuat geregetan, ketika ada koruptor santun dan tampilan religious, malah banyak yang membela. "Gak masalah korupsi, yang penting peduli anak yatim dan mau membangun tempat ibadah. Toh korupsi itu tidak terlalu buruk," begitu kata sebagian orang. Kita mungkin agak terkejut dengan pernyataan ini karena semua sudah sepakat, korupsi itu kejahatan.

Namun jangan bertambah terkejut, karena ada pemikir sekaligus peneliti yang melihat korupsi dari sisi berbeda dari pendapat kebanyakan orang. Singkatnya, ada yang menemukan 'sisi baik' dari praktik korupsi. Menurut Sun Yan, ahli politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, korupsi ternyata membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.

Britta Hilstrom menulis dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (Sept. 1997), Sun Yan mengungkapkan, "Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun mencari keuntungan dari kontrol pemerintah tersebut."

Karena dirasa ada manfaatnya itulah, pendapat Sun Yan lalu dijadikan pembenar atau legitimasi. Malah yang lebih ngeri, legitimasi itu kadang dicari-cari tambahannya dari sumber agama, meski semua agama sebenarnya mengutuk korupsi. Contoh, pergi ke Tanah Suci ( ke Israel bagi orang Kristen) atau ke Arab Saudi bagi muslim. Kita tentu masih ingat istilah "habidin," alias haji dengan biaya dinas.

Anehnya, para koruptor yang pergi ke Tanah Suci, seolah merasa sudah mendapat pengampunan dosa dari Tuhan. Tidak heran jika kemudian ada komentar, "Tobat di Tanah Suci, lalu kumat di negeri sendiri (haji "tomat"). Mungkin karena pendapat seperti ini, Indonesia tidak pernah kekurangan koruptor. Satu masuk penjara, 100 calon koruptor baru, mengantre. "Masuk penjara tak masalah, toh tabungan di bank hasil korupsi terus bertambah," batin koruptor.

Keuangan

K e p a d a para koruptor yang punya penafsiran bahwa dosa bisa diputihkan lalu korupsi lagi, mungkin layak ditanyakan, apa sebenarnya yang menjadi keyakinan mereka? Julius Kardinal Darmaatmadja, pernah mengungkapkan bahwa ideologi uang yang begitu dominan telah membuat sebagian orang Indonesia, di antaranya para koruptor, tidak lagi meyakini sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka berkeyakainan pada keuangan yang mahakuasa.

Memang menurut Anthony Simson dalam "The Midas Touch" (1991), posisi agama konvensional saat ini, suka atau tidak, memang telah dipinggirkan oleh agama uang (religion of money). Ini hanya pengembangan pendapat lama dari Erich Fromm dalam "Psychoanalysis and Religion (Yale University Press, 1950, hal 21).

Menurut Fromm, batasan agama bukan hanya tradisional, yakni selalu dikaitkan dengan Tuhan, berhala, kitab suci, atau nabi. Tapi agama adalah "any sistem of thought and action shared by a group which gives the individual a frame of orientation and object of devotions" (suatu sistem pemikiran sekaligus tindakan dari sekel- ompok o r a n g y a n g m e m - b e r i k a n pada tiap-tiap anggota kerangka orientasi dan objek devosi).

Konsekuensinya, andai orientasi atau yang menjadi objek devosi adalah uang, agama para koruptor adalah uang. Karena begitu dominannya posisi uang itu, agama otentik seperti Islam atau Kristen hanya diperalat para koruptor sebagai semacam topeng untuk menutupi kerakusan dan ketamakan.

Terkait ketamakan, menarik mencermati kisah Ivan Boesky yang dipenjara dan harus membayar denda 100 juta dollar Amerika karena melakukan insider trading. Ivan adalah sosok terpandang di bursa Walstreet. Pernah dalam suatu wisuda di sebuah universitas ternama, Ivan berkhotbah soal ketamakan. Katanya, "Ketamakan tidaklah salah. Tamak justru sehat. Anda tidak perlu merasa bersalah jika menjadi tamak." Yang menarik, Ivan mengungkapkannya di sebuah wisuda sekolah bisnis ternama dan disambut gelak tawa (Newsweek, 1 Desember, 1986).

Padahal ketamakan jelas sesuatu yang buruk. Orang tamak biasanya mengabaikan Allah. Para koruptor jelas orang bodoh karena diperbudak harta. M e r e k a mengabaikan semua kaidah moral dan agama. Orang tamak rela menjadi h amb a u a n g , buk an tuan atas hartanya.

Teladan Yesus

Sekarang, apa pendapat Yesus menyangkut ketamakan? Tamak atau nafsu akan kekayaan sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Kata-kata Yesus mengenai uang, harta milik atau kekayaan memang merupakan salah satu yang paling keras dalam Injil. Kebanyakan kita mencoba melunakkannya dengan memberi penafsiran sesuai selera zaman hedonis ini.

Mengapa Yesus menyampaikan kata-kata keras tersebut? Yesus tidak ingin orang berpaling dari Allah. Apalagi kekayaan diakui gampang mengubah orang. Ketika nafsu memiliki (to have) kian menguasai dan menjadi ketamakan, tak mengenal kata cukup (Erich Fromm).

Maka, Yesus ingin kita menggunakan uang dengan cerdik. Maksudnya, kita jangan sampai diperalat oleh uang hingga melupakan Allah. Bagaimanapun uang dan harta dunia hanya titipan. Karena itu seharusnya uang bisa kita investasikan untuk masa depan yang kekal. Dengan membelanjakan uang di jalan Allah, jiwa kita tidak akan menghadapi risiko bahaya untuk tidak selamat.

Yesus memang ingin orang tidak menyembah uang, tetapi menyembah Allah. Ketika Bait Allah Yerusalem dipenuhi para pedagang sehingga mirip pasar, Yesus menjadi marah. Pedagang-pedagang diusir dari tempat itu. Yesus memang ingin tempat ibadah tidak dikomersialisasikan. Tempat ibadah harus mendekatkan manusia pada Allah, bukan kepada uang.

Ketika tindakan Yesus itu didengar imam-imam Yahudi, Dia ditangkap, diadili dan dihukum mati. Tiga hari kemudian bangkit. Dalam perspektif iman, pengorbanan Yesus di salib adalah ungkapan kasih sehabis-habisnya agar manusia ditebus dari utang dosa, lalu bangkit dan menikmati keselamatan selama-lamanya, bukan dihukum abadi.

Kasih dan pengorbanan Yesus jelas harus menginspirasi manusia agar tidak pelit berbagi dengan orang miskin. Jangan lupa, yang akan menyelamatkan kita kelak bukan simpanan uang di bank, tetapi uang yang kita investasikan demi mengentaskan orang miskin. Dengan begitu, mereka bisa mempunyai pekerjaan, rumah, dan masa depan. Setop korupsi dan ketamakan. Kita harus berani mengasihi, berbelarasa, dan berbagi dengan mereka yang tak berpunya. Korupsi hanya membuat jiwa kita mati. Kasih bisa membuat kita hidup. Selamat Paskah 2018.

Penulis Lulusan University of Birmingham

Komentar

Komentar
()

Top