Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Politik Filipina

ICC Dicegah Selidiki Kematian Perang Narkoba Duterte

Foto : AFP/Jake C Salvador

Korban Perang Narkoba I Dua orang ibu memperlihatkan foto anak-anak mereka yang menjadi korban perang narkoba pada masa pemerintahan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada September 2018 lalu. Pada Kamis (8/9) lalu, pemerintah Filipina yang baru meminta ICC agar tidak melanjutkan penyelidikan terhadap mantan Presiden Duterte dan perang narkobanya yang menewaskan ribuan orang Filipina.

A   A   A   Pengaturan Font

MANILA - Pemerintah baru di Filipina pada Kamis (8/9) meminta Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) agar tidak melanjutkan penyelidikan terhadap mantan Presiden Rodrigo Duterte dan perang narkobanya yang menewaskan ribuan orang Filipina.

Pada Juni, seorang jaksa tinggi ICC, Karim Khan, mengajukan mosi ke ruang pra-sidang pengadilan untuk melanjutkan penyelidikan terhadap perang narkoba Duterte mulai dari 2011 hingga 2019. Periode tersebut mencakup tiga tahun pertama Duterte sebagai presiden dan lima tahun sebelumnya ketika dia masih menjabat sebagai wakil wali kota dan wali kota Davao, kota kampung halamannya di Filipina selatan.

Pada Kamis, kantor Jaksa Agung Menardo Guevarra mengatakan telah mengirimkan jawaban dari negaranya atas tanggapan "dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan" pada masa pemerintahan Duterte melalui Kedutaan Besar Filipina di Belanda.

"Pemerintah Filipina menjelaskan kepada Majelis Praperadilan ICC sejauh mana masalah narkoba di Filipina dan proses penyelidikan serta penuntutan pelanggaran terkait narkoba di bawah sistem hukum dan peradilan Filipina," kata kantor Guevarra dalam sebuah pernyataan.

Jaksa Agung Guevarra mengatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas situasi di Filipina dan ia berpendapat bahwa pembunuhan tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan mengingat insiden tersebut tidak memenuhi syarat sebagai sebuah serangan terhadap penduduk sipil.

Menurut angka resmi yang dipegang pemerintah Filipina ada sekitar 8.000 tersangka pecandu dan pengedar tewas selama perang narkoba pemerintahan Duterte, tetapi kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan angka itu bisa tiga kali lebih tinggi.

"Pemerintah Filipina menekankan bahwa pengaduan yang diajukan ke ICC sudah diselidiki dan dituntut oleh lembaga yang tepat dan bahwa negara tidak mau atau tidak mampu melakukan proses domestik ini," kata jaksa agung.

Tarik Ratifikasi

Filipina sendiri telah secara resmi meninggalkan ICC pada 2019, setahun setelah Duterte menarik ratifikasi Statuta Roma, perjanjian internasional yang menciptakan pengadilan yang berbasis di Den Haag.

Setelah Duterte menarik Filipina dari ICC, dia menyerang pengadilan itu dengan mengatakan telah digunakan sebagai alat melawan Filipina untuk melukiskan gambaran buruk tentang upaya pemerintahannya untuk membebaskan negara dari pengedar narkoba dan kecanduan narkoba.

Sebelumnya, Menteri Kehakiman Jesus Crispin Remulla mengatakan Filipina akan menanggapi ICC hanya karena rasa hormat.

Pada 1 Agustus lalu, Presiden Ferdinand Marcos Jr, menolak seruan dari kelompok-kelompok HAM agar negara itu bergabung kembali dengan ICC, dengan mengatakan negara itu dapat melakukan penyelidikan sendiri atas kematian yang terkait dengan perang narkoba pendahulunya.

Marcos menggantikan Duterte, dan putri Duterte, Sara, saat ini menjabat sebagai wakil presiden. Pengamat dan analis mengatakan bahwa dengan kemenangan mereka dalam pemilihan umum Mei, mantan presiden dijamin perlindungannya meskipun telah kehilangan kekebalan hukum.RFA/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top