Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Perubahan Iklim - Sekitar 88% Listrik Masih Berasal dari Pembakaran Bahan Bakar Fosil

Hentikan Penambahan PLTU Batu Bara

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 13,8 gigawatt (GW) dalam sepuluh tahun mendatang. Besaran kapasitas listrik tersebut akan disumbang oleh 39 PLTU.

"Sebab, jika tidak, Indonesia akan sulit lepas dari masalah emisi karbon selama 30 hingga 40 tahun ke depan," tegas Adila Isfandiari dari Climate and Energy Campaigner, Greenpeace Indonesia, dalam diskusi terkait EBT di Jakarta, Kamis (18/8).

Dia mengatakan rencana penambahan PLTU dari 2021 hingga 2030 itu bertentangan dengan rencana pensiun dini pembangkit listrik dengan menggunakan energi kotor. Bahkan, penambahan itu juga akan mempersulit Indonesia mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060.

Adila menjelaskan Indonesia merupakan Presidensi G20 pada 2022. Namun, ironisnya, saat ini RI menjadi negara dengan posisi pertama dengan pertumbuhan PLTU batu bara terbesar di antara negara anggota G20.

Kenaikan persentase pertumbuhan PLTU batu bara Indonesia sebanyak 44 persen dari 2015 hingga 2020. Itu linear dengan dominasi energi batu bara dalam sistem kelistrikan nasional. Tercatat 88 persen listrik Indonesia masih berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Bahkan, batu bara masih mendominasi bauran listrik hingga 2030 dengan kontribusi 59,4 persen.

Saat ini, sektor energi sebagai penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK). Pada 2030 ditargetkan kontribusinya meningkat hingga 58 persen dari 49 persen pada 2017 dan 34 persen pada 2010.

"Saya minta percepat transisi energi dari choal phase out di tahun 2040 dengan kepemimpinan dari pemerintah. Penambahan PLTU ini bertentangan dengan rekomendasi global yang menegaskan tak ada lagi PLTU batu bara setelah 2020," jelasnya.

Dia menjelaskan penambahan PLTU ini hanya menambah beban PLN karena akan terjadi kelebihan pasokan listrik, sementara BUMN ketenegalistrikan itu harus tetap membelinya karena ada skema take or pay yang membuat PLN dalam posisi sulit.

Kelompok Rentan

Dalam kesempatan sama, anak muda mengkhawatirkan makin beratnya beban kelompok usia muda akibat krisis iklim. Berbeda dengan kelompok dewasa, anak muda akan mengalami masalah dalam jangka waktu lama imbas krisis iklim.

Kepala Departemen Lingkungan Hidup BEM Universitas Indonesia (UI), Kevin Wisnumurthi, menyebut anak muda akan lebih rentan terhadapa krisis iklim. Selain ancaman kesehatan, kelompok usia muda juga rentan terkena dampak tak langsung dari krisis iklim seperti keterbatasan pangan.

"Percepat transisi karena dari data World Meteorologi, jumlah bencana yang berkaitan dengan iklim itu meningkat lima kali lipat sejak 1970," pungkas Kevin.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top