Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 12 Des 2024, 14:00 WIB

Hati-hati Tergoda Diskon, Kenali Trik Psikologis yang Mengelabui Otak dan Memicu Perilaku Belanja Impulsif

Platform belanja daring baik e-commerce atau pun marketplace berlomba-lomba memberikan penawaran menarik dan banjir diskon.

Foto: The Conversation/Shutterstock

Cathrine Jansson-Boyd, Anglia Ruskin University

Pada momentum Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) atau menjelang hari-hari perayaan besar seperti Natal ini, rasanya mustahil kita bisa steril dari hujan iklan dan promo diskon spesial.

Toko ritel bakal berbondong-bondong menggelar obral besar-besaran. Platform belanja daring baik e-commerce atau pun marketplace berlomba-lomba memberikan penawaran menarik dan banjir diskon.

Apa pun momennya, diskon membuat kita bahagia, sehingga sulit untuk tidak tergoda. Tapi tahukah kamu, bahwa dibalik diskon, sebenarnya ada trik psikologis yang digunakan para peritel untuk mengelabui otak kita dan memicu perilaku belanja impulsif?

Diskon memicu “hormon bahagia”

Secara saintifik, diskon bisa memicu respons kimiawi dalam otak yang menggugah nafsu belanja kita. Reaksi tersebut terjadi ketika kita melihat diskon menarik pada label harga, bagian otak kita yang berperan dalam merasakan kesenangan (nucleus accumbens) akan aktif.

Dengan kata lain, kita menjadi sangat puas ketika menemukan dan membeli barang dengan harga murah. Nucleus accumbens, bersama dengan bagian otak lain yang berhubungan dengan rasa kesenangan lainnya, juga memperkaya reaksi emosi lanjutan, terutama saat melibatkan dopamin yang dikenal sebagai “hormon bahagia”.

Dopamin adalah zat kimia dalam otak (neurotransmitter) yang membantu mengontrol pusat penghargaan dan kepuasan individu, yang berhubungan dengan perasaan bahagia. Ketika orang melihat gambar-gambar barang incaran mereka, bagian otak dengan reseptor dopamin akan aktif
Belanja bisa memicu “ledakan” dopamin, sehingga kita merasa sangat senang saat melakukannya.

Dopamin juga mendorong orang menjadi lebih impulsif dalam mengambil keputusan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa orang-orang suka berburu diskon.

Berburu dan diburu

Jadi, karena konsumen senang ketika merasa dihargai dan dipuaskan, maka tugas peritel adalah memberikan penghargaan dan kepuasan yang diinginkan pelanggan—dan kerap para peritel memang sungguh-sungguh melakukannya. Berbekal pemahaman akan dasar-dasar psikologis manusia, peritel menggunakan berbagai strategi untuk meningkatkan dopamin pelanggan dengan memastikan pelanggan mendapatkan barang yang mereka cari.


            

Salah satu taktik yang sering digunakan peritel adalah penawaran diskon dalam waktu singkat untuk menciptakan kesan ekstra mendesak. Batas waktu yang diberikan oleh pemilik toko bisa meningkatkan adrenalin konsumen dan membuat mereka sangat bersemangat untuk berburu diskon.

Penggunaan pengatur waktu mundur di situs web juga memiliki efek serupa yang membuat konsumen merasa harus segera bertindak sebelum kehilangan kesempatan.

Namun, berita baiknya adalah: kita sebenarnya bisa melawan dorongan biologis ini dan menahan diri agar tidak tergoda oleh diskon. Meski, ini membutuhkan kemampuan pengendalian diri.

Caranya, ketika kita melihat barang murah, jangan langsung membeli. Ambil waktu sejenak untuk memikirkannya.

Jika kita melihat diskon itu di sebuah toko ritel dan khawatir barang tersebut akan diambil orang lain jika tidak segera dibeli, ambil saja barang tersebut, lalu bawa berjalan-jalan sejenak di dalam toko. Lambat laun, rasa urgensi itu akan berkurang, dan keinginan kita untuk membeli barang itu akan pupus.

Hal yang sama berlaku saat belanja daring. Saat tergoda dengan banyaknya diskon, kita bisa berhenti sebentar, tinggalkan layar, dan lakukan kegiatan lain untuk mengurangi keinginan impulsif.

Terlepas dari diskon besar dan seberapa pun populer barang itu, kita mungkin pada akhirnya akan menyadari, bahwa barang tersebut sebenarnya tidak sepenting yang kita kira sebelumnya.The Conversation

Cathrine Jansson-Boyd, Professor of Consumer Psychology, Anglia Ruskin University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.