Harga Pangan Dunia Kembali Menyentuh Rekor Tertinggi
Foto: Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES» Dalam skenario moderat, jumlah orang yang kekurangan gizi akan meningkat 7,6 juta orang.
» Tujuan pembangunan sistem pangan berkelanjutan adalah untuk mewujudkan dunia tanpa kelaparan.
PARIS - Harga pangan dunia kembali melonjak dan mencatatkan rekor tertinggi baru, pada Maret, akibat perang di Ukraina yang mengguncang pasar gandum dan minyak sayur. Organisasi Pangan Sedunia atau Food Agriculture Organization (FAO), pada Jumat (8/4), menyatakan indeks harga pangan yang paling banyak diperdagangkan secara global mencapai rata-rata 159,3 poin. Indeks tersebut naik dibandingkan data pada Februari 14,4.
Kepala Ekonom FAO, Maximo Torero, baru-baru ini memperingatkan kemungkinan besar konflik Ukraina akan memengaruhi ketahanan pangan dunia.
Berdasarkan data, harga gandum akan meningkat 8,7 persen dalam skenario guncangan sedang dan 21,5 persen dalam skenario guncangan berat. Untuk jagung, kenaikannya akan menjadi 8,2 persen dalam kasus sedang dan 19,5 persen dalam skenario parah. Untuk biji-bijian kasar lainnya, harga naik 7-19,9 persen, dan minyak sayur 10,5-17,9 persen.
Secara global, dalam skenario moderat, jumlah orang yang kekurangan gizi akan meningkat sebesar 7,6 juta orang. Jumlah itu akan meningkat menjadi 13,1 juta orang dalam keadaan guncangan berat.
Tekanan lain berasal kenaikan harga pupuk, gangguan dan biaya transportasi yang tinggi menyusul pemberlakuan pembatasan ekspor dan kenaikan tarif yang tajam untuk angkutan curah dan peti kemas karena pandemi.
Sebelum konflik di Ukraina, harga pangan internasional telah mencapai titik tertinggi. Indeks Harga Pangan FAO rata-rata 140,7 poin di Februari, naik 3,9 persen dari Januari, dan 20,7 persen dibanding setahun sebelumnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari, mengatakan Presidensi G20 Indonesia menjadi momentum penting mendorong kerja sama internasional membangun sistem ketahanan pangan dunia yang berkelanjutan. Tujuan pembangunan sistem pangan berkelanjutan adalah untuk mewujudkan dunia tanpa kelaparan.
Menurut Puji, untuk mewujudkan ketahanan pangan global secara berkelanjutan diperlukan kerja sama antarnegara untuk memastikan perdagangan dan distribusi pangan berjalan baik guna menghadapi krisis. "Kuncinya memang harus menjalin kerja sama antarnegara dan memastikan perdagangan dan distribusi lancar," katanya.
Menurut Puji, ada tiga hal yang perlu dilakukan negara-negara G20 untuk memperkuat sistem pangan global, yakni melakukan pemulihan sistem pangan, menciptakan iklim investasi berkelanjutan, dan meningkatkan transfer teknologi dan pembangunan kapasitas kepada negara-negara yang membutuhkan.
Pemulihan sistem pangan, jelasnya, ditujukan untuk menjamin produksi pangan tinggi, rantai pasok kembali normal, dan sistem perdagangan pangan terjadi tanpa hambatan.
Sementara itu, pengembangan iklim investasi berkelanjutan diperlukan untuk meningkatkan peran aktif sektor swasta melalui kemitraan public private partnership. Mengenai peningkatan transfer teknologi dan pembangunan kapasitas ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing sektor pertanian dan pangan di negara-negara yang membutuhkan.
Jangan Bergantung Impor
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya, mengatakan Indonesia harus belajar dari kenaikan harga pangan global saat ini. Produktivitas pangan harus dipacu agar tidak bergantung lagi ke pangan impor.
Presidensi G20, jelasnya, harus jadi momentum untuk mendesain kerja sama dengan negara-negara G20 lebih erat lagi.
"Terkait kedaulatan pangan, kerja sama yang mungkin diciptakan, antara lain kerja sama di bidang teknologi pertanian agar produksi bahan pangan yang dihasilkan kualitasnya baik.
Kerja lainnya di bidang teknologi adalah teknologi untuk pascapanen, sehingga bisa mengolah komoditas pertanian yang punya nilai tambah, awet, dan memiliki harga jual lebih tinggi. Begitu juga dengan teknologi yang memungkinkan membuat inovasi bibit unggul sehingga produksi meningkat.
"Hal yang paling penting adalah standardisasi komoditas pertanian nasional agar produk Indonesia lebih mudah diterima di pasar global," pungkas Esther.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Thailand Ingin Kereta Cepat ke Tiongkok Beroperasi pada 2030
- 2 Peneliti Korsel Temukan Fenomena Mekanika Kuantum
- 3 Incar Kemenangan Penting, MU Butuh Konsistensi
- 4 Menko Zulkifli Tegaskan Impor Singkong dan Tapioka Akan Dibatasi
- 5 Kepercayaan Masyarakat Dapat Turun, 8 Koperasi Bermasalah Timbulkan Kerugian Besar Rp26 Triliun