
Hanya Pertanian dan Industri yang Bisa Pulihkan Ekonomi
Foto: Sumber: BPS - kj/ones» Pemerintah diminta tidak berpuas diri dengan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 sebesar 7,07 persen.
» Sektor pertanian dan industri harus mendapat insentif agar ketahanan pangan dan daya beli masyarakat terjaga.
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mereformasi kebijakan ekonomi nasional dengan mengurangi kebergantungan pada sektor jasa dan properti dan harus lebih memprioritaskan pertanian dan industri sebagai sumber utama pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan yang masih terus berlanjut saat ini seperti terus menarik utang dari luar negeri untuk kebutuhan konsumsi non produktif harus dihentikan. Selain itu, mesin ekonomi yaitu sektor riil harus mendapat pembiayaan murah dari bank agar lekas pulih. Bukan malah membiarkan bank menjalankan fungsi intermediasi dengan berspekluasi ke sektor properti yang bubble.
Semua model kebijakan ekonomi yang dijalankan selama ini dinilai menjadi pemicu matinya produksi pertanian dan sektor riil khususnya industri nasional secara masif dan sistematis.
Belum lagi, dari sisi beban keuangan negara dengan obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang semula hanya 700 triliun rupiah saat ini sudah menggelembung menjadi 6.000 triliun rupiah lebih sudah menjadi paku peti mati bagi harapan kelangsungan hidup rakyat Indonesia.
Sebab itu, sangat tidak rasional membandingkan rasio utang Indonesia dengan negara-negara seperti Tiongkok, Jepang apalagi Amerika Serikat (AS). Tiongkok savingnya 3,2 triliun dollar AS dan Jepang 2,2 triliun dollar AS.
Dengan kondisi tersebut, maka hanya pertanian yang mampu bertahan dan tumbuh. Apalagi daya beli rakyat untuk konsumsi di luar pangan sudah habis, sehingga belanja negara saat ini digunakan untuk memberi makan rakyat.
Hal itu karena dari rezim ke rezim lebih mengutamakan impor, mensubsidi utang obligasi rekap BLBI dan membiarkan bank berspekulasi menyalurkan kredit ke properti.
Dengan mengacu pada pencapaian pada triwulan II-2021, pemerintah diminta tidak berpuas diri dengan pertumbuhan ekonomi 7,07 persen. Sebab, pertumbuhan tersebut sifatnya semu, lebih karena faktor teknikal setelah periode yang sama tahun lalu berkontraksi 5,02 persen.
Apalagi dibandingkan negara lain, pencapaian tersebut kalah dibanding Tiongkok 18,3 persen, AS 12,2 persen dan Singapura 14,3 persen.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, pemerintah harus benar benar memberi perhatian lebih ke sektor pertanian terutama di sisi hilir. Harga di tingkat petani terang dia harus ditingkatkan agar petani juga tetap bergairah untuk berproduksi.
"Harga Pembelian Pemerintah (HPP) harus dinaikkan. Saat ini masih terlalu rendah seperti dalam aturan Permendag Nomor 24 Tahun 2020 tentang HPP untuk gabah," kata Tauhid.
Menurut dia, HPP yang berlaku saat ini masih jauh dari harga pasar. Dengan HPP masih 4.200 rupiah per kilogram untuk gabah kering panen (GKP), maka petani mengalami kerugian.
Dia juga meminta pemerintah untuk mengucurkan dana tambahan ke Bulog agar lembaga tersebut mampu menjalankan fungsinya sebagai stabilisastor harga pangan dengan meningkatkan serapan hasil produk petani, terutama untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) di angka 1,5 juta ton.
Industri Padat Karya
Sementara untuk sektor industri, dia berharap Pemerintah memperpanjang pemberian insentif untuk labour intensive atau industri padat karya.
"Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, sehingga perlu insentif agar mereka tidak mengurangi karyawan," kata Tauhid.
Agar permintaan stabil, dia berharap pemerintah membantu memperluas pasar ekspor dan diversifikasi produk untuk mengkompensasi lemahnya permintaan domestik.
"Kalau ekspor berjalan baik, sektor industri, dan juga pertanian bisa menjadi pahlawan devisa," katanya.
Sementara itu, Pengamat Pertanian Rusli Abdullah mengatakan pemerintah perlu mewaspadai lonjakan permintaan pangan pasca Covid-19. Sebab, saat ini terjadi ketidakseimbangan sistem pertanian dengan permintaan pangan.
Sistem pertanian masih berskala kecil, kemudian masih banyak menggunakan praktik konvensional, petani menua, adopsi teknologi rendah serta inefisiensi usaha tani dan masalah pembenihan.
Pemerintah juga diharapkan mengatasi hambatan suplai pangan di daerah agar distribusi pangan tidak terganggu.
"Minimal pemerintah harus bisa amankan pasokan pangan hingga kuartal I tahun 2022," tegas Rusli.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 PTN Dukung Efisiensi Anggaran dengan Syarat Tak Ganggu Layanan Tri Darma Perguruan Tinggi
- 2 Polri, BGN, dan Yayasan Kemala Bhayangkari Uji Coba Dua SPPG di Jakarta
- 3 Duh, Minyak Sawit Indonesia Bisa Makin Tertekan, Harga CPO Tersungkur Akibat India Rem Permintaan
- 4 Sentimen Tarif AS dan Penurunan Peringkat MSCI Tekan IHSG
- 5 Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat Lebaran 13-14 Persen