Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
KTT G20 I Xi Jinping Serukan Penangguhan Utang Negara-negara Berkembang

G20 Diharap Putuskan Penghapusan Utang Negara Miskin dan Berkembang

Foto : ANTARA/MEDIA CENTER G20 INDONESIA/M RISYAL HIDAYAT

SAMBUT XI JINPING DI “WELCOMING DINNER AND CULTURAL PERFORMANCE” I Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo berfoto bersama dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dan istri Peng Liyuan saat menghadiri Welcoming Dinner and Cultural Performance KTT G20 di kawasan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK), Badung, Bali, Selasa (15/11).

A   A   A   Pengaturan Font

» Utang di masa Covid-19 harus diselesaikan sebagai masalah bersama dunia.

» Akibat pandemi, utang negara miskin dan berkembang mencapai 12,9 miliar dollar AS.

BADUNG - Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (15/11), menyerukan agar lembaga keuangan dan kreditur komersial internasional, ikut serta dalam pengurangan dan penangguhan utang negara-negara berkembang.

Xi meminta Dana Moneter Internasional (IMF) agar mempercepat penerusan pinjaman (on-lending) hak penarikan khusus (Special Drawing Rights/SDR) kepada negara-negara berpenghasilan rendah.

Tiongkok, kata Xi, seperti dikutip Antara dari Xinhua, telah mengimplementasikan inisiatif penangguhan layanan utang (Debt Service Suspension Initiative/DSSI) G20 dalam segala hal. Tiongkok juga klaimnya telah menangguhkan pembayaran utang dalam jumlah terbesar di antara semua anggota G20.

Tiongkok, tambahnya, juga bekerja sama dengan beberapa anggota G20 dalam penanganan utang di bawah Common Framework for Debt Treatment di luar program DSSI, sehingga membantu negara-negara berkembang yang relevan melewati masa-masa sulit.

Sementara itu, Staf Ahli bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Wempi Saputra, mengatakan Presidensi G20 Indonesia mendorong penghapusan utang bagi negara miskin dan berkembang yang jumlahnya sudah mencapai 12,9 miliar dollar AS akibat pandemi Covid-19. Dia pun berharap agar KTT G20 segera memutuskan restrukturisasi utang tersebut. "Ini untuk mempercepat pemulihan ekonomi global khususnya bagi negara miskin," kata Wempi.

Hingga saat ini, ada sekitar 48 negara miskin yang sudah mendapat keringanan penundaan pembayaran utang, namun penundaan bukan sebuah solusi karena tetap ada dan harus diselesaikan.

Indonesia, papar Wempi, akan memfasilitasi negara-negara miskin agar bisa mendapat solusi terhadap pembayaran utang mereka. Tiga negara yang saat ini kesulitan membayar utang Zambia, Chad, dan Etopia karena inflasi dan pelambatan ekonomi. Ketiga negara tersebut sedang menjalani program penyelesaian utang atau disebut common framework for debt treatment dan mereka menjadi proyek percontohan untuk penyelesaian utang bagi negara miskin.

"Bila ini berhasil maka program ini bisa diberlakukan bagi negara lainnya," kata Wempi.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, yang diminta pendapatnya, mengatakan restrukturisasi utang negara miskin dan negara pendapatan menengah ke bawah sangat diperlukan karena adanya potensi resesi dan berbagai macam krisis, baik energi maupun krisis pangan. Negara-negara tersebut membutuhkan pendanaan dari sisi fiskal untuk memberi stimulus dan memperkuat jaring pengaman sosial. "Kalau negara-negara tersebut tidak mampu merestrukturisasi utang maka mereka tidak memiliki payment capacity untuk menjalankan instrumen fiskal," kata Riefky.

Restrukturisasi, jelasnya, minimal menghindarkan negara miskin dari kemungkinan terburuk yakni ancaman kelaparan.

Perubahan Paradigma

Dihubungi terpisah, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan perlu perubahan paradigma melihat utang, terutama utang yang melonjak di masa Covid-19. G20 harus mau melihat bahwa utang yang timbul karena wabah adalah utang yang tidak kredibel.

"Jika utang di masa Covid dianggap sebagai utang normal, di masa depan akan terjadi perlombaan virus karena dengan virus maka akan punya vaksin yang menghasilkan uang paling banyak. Hal itu sudah mengkhianati sistem ekonomi modern. Sebab, yang menanggung semuanya adalah warga dunia yang paling miskin," papar Daeng.

Sebab itu, tema soal utang tidak boleh hanya sebatas restrukturisasi tanpa melihat fundamental penyebab utang. Covid-19 harus dilihat sebagai masalah bersama dunia dan bukan masalah perdagangan dan komersial semata. Utang di masa Covid harus diselesaikan sebagai masalah bersama dunia.

"Menurut Our World in Data, memang negara maju yang paling banyak penambahan utangnya secara nominal di masa Covid. Tapi secara beban, negara miskinlah yang paling berat menanggung beban utang baru ini," kata Daeng.

Pengamat Sosial dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan upaya Indonesia mendorong restrukturisasi dan penghapusan utang negara miskin itu layak diapresiasi. "Negara miskin butuh pemihakan lebih luas untuk memberdayakan mereka menghadapi krisis yang berlangsung," kata Surokim.

Peneliti Celios, Muhammad Akbar, mengatakan restrukturisasi utang sangat diperlukan karena negara berpendapatan miskin dan menengah (Low and Middle Income Countries/LMIC) pada Maret 2020 hingga Desember 2021 mendapatkan bantuan dengan skema Debt Service Suspension Initiatives (DSSI) dari negara-negara kreditor yang didukung World Bank dan IMF. Dengan program tersebut, mereka fokus menggunakan sumber dayanya untuk penanganan krisis karena pandemi karena bisa menunda pembayarannya utangnya.

"Ditambah lagi, diprediksi akan ada resesi global yang membuat negara LMIC ini semakin terpuruk. Harapannya, restrukturisasi utang ini dapat memberikan keringanan lagi untuk negara-negara LMIC," tutup Akbar.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top