
Forum PRAKSIS Seri ke-7 Soroti Urgensi Strategi Alternatif yang Berpihak pada Komunitas Agraris-Subsisten dalam Menghadapi Dampak Eksploit
Foto: Dok. PraksisJAKARTA - Pada hari Jumat, 14 Maret 2025 di Jakarta, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan Forum Praksis Seri ke-7 dengan tema “Subsisten vs Kelangkaan”. Secara khusus forum ini bermaksud menyoroti praktik “akumulasi primitif” dalam kaitannya denganpengalih-sungsian hutan dan tanah adatdan dampaknya terhadap reproduksi sosial komunitas agraris yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia sejak tahun 1970-an.Bertindak sebagai narasumber dalam Forum Praksis kali ini adalah Dr. Ruth Indiah Rahayu, peneliti di Research Center for Crisis and Alternative Development Strategies (INKRISPENA).
Paradigma Komunitas Pertanian
Pada awal paparannya Ruth menyampaikan bahwa materi yang ingin ia sampaikan merupakan hasil refleksi konseptual atas rangkaian penelitian yang telah ia lakukan selama 15 tahun, dengan fokus pada studi tentang reproduksi sosial. Rangkaian penelitian yang ia lakukan itu, menurut pengakuannya, telah mendorongnya untuk mengganti paradigma yang ia gunakan dalam memahami masyarakat yang hidup secara subsisten, yakni dari paradigma “pertumbuhan ekonomi” ke paradigma “komunitas agraris”.
Sementara paradigma “pertumbuhan ekonomi” mengasosiasikan komunitas pertanian subsisten dengan kemiskinan, lahan sempit, cara hidup yang tidak efisien, rendah-pendapatan, rendah-pengetahuan, rendah-teknologi dan sebagainya,paradigma “komunitas agraris” memandang komunitas pertanian subsisten sebagai komunitas adat atau komunitas tradisional yang memiliki pengetahuan dan kemampuan ketahanan panganyang tinggi, selain memiliki pengetahuan yang kaya tentang pengelolaan sumber daya alam dan tata kelola ruang-hidup. Sementara paradigma pertumbuhan ekonomi memandang masyarakat agraris subsisten sebagai masyarakat yang menderita atau“ill-being” di tengah pemahaman waktu yang sifatnya linear, paradigma komunitas pertanian justru memandang masyarakat agraris subsisten sebagai masyarakat yang menikmati “wellbeing” yang tinggi serta memiliki keselarasan metabolistik dengan alam sekitarnya dalam pemahaman waktu yang sifatnya siklis.
Kaya Kreativitas
Ruth menyampaikan beberapa contoh cara hidup subsisten yang sekarang ini masih berlangung dalam komunitas agraris di wilayah-wilayah tertentu. Ia menunjukkan bagaimana komunitas agraris penduduk Rejang di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Sumatera Selatan, bisahidup secara subsisten dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa merusak alam sekitarnya. Masyarakat Rejang tersebut, menurutnya, mampu menghasilkanbuah kelapa dalam jumlah yang besar untuk kemudian mengolahnya menjadi gula merah dan minyak kelapa yang dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk penerangan rumah tangga.
Ruth memberikan contoh lain berupa komunitas Kasepuhan Ciptagelar, Banten Kidul, Jawa Barat. Komunitas ini, tutur Ruth, hidup bersama secara subsisten, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menciptakan dan menggunakan teknologi tepat guna.
Masyarakat Ciptagelar, misalnya, dengan tekun merawat dan “meruwat” sungai yang ada di tengah mereka, yakni sungai Cisono. Masyarakat Ciptagelar menjaga agar sungai tetap bersih, sekaligus mengupacarainya sebagai sebentuk penghormatan terhadap alam. Selanjutnya mereka memanfaatkan air Sungai Cisono untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Antara lain dengan membuat mesin mikro-hidrolik yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 118,000 Watt. Listrik yang dihasilkan itu digunakan sebagai daya untuk memenuhi kebutuhan akan penerangan di komunitas. Selain itu mereka juga menggunakan listrik yang ada unuk menghidupi stasiun televisi ciptaan merekasendiri, yang muatan acaranya adalah informasi-informasi seputar kehidupan komunitas. Selain itu, dalam hal pangan, komunitas Kasepuhan Ciptagelar juga mampu membangunlumbung pangan yang diproyeksikan akan dapatmenghidupi mereka selama 90 tahun ke depan. Di lumbung tersebut mereka menyimpan hingga 164 varietas jenis bibit padi. Mereka juga memiliki cara tersendiri dalam hal produksi pengetahuan, sehingga mereka menolak sistem sekolah formal.
Kedua contoh di atas, menurut Ruth, menunjukkan betapa masyarakat subsisten sesungguhnya kaya akan kreativitas dan daya hidup, termasuk kreativitas dalam bidang pangan, energi dan produksi pengetahuan. “Mereka melakukan semua itu dengan biaya rendah, seraya merawat lingkungan, mengekang konsumerisme, dan menumbuhkan semangatcommoning”, tutur Ruth.
Ekonomi Hutang
Salah satu ciri dari masyarakat agraris-subsisten, menurut Ruth, adalah terjaganya rasa-kepemilikan dan usaha bersama, atau commoning. Dalam masayarakat agraris-subsisten ada ruang-ruang tertentu yang dalam masyarakat adat merupakan ruang-ruang bersama tempat mereka melakukan reproduksi sosial, seperti pengasuhan anak, pelestarian tradisi, pendidikan kaum muda dan sebagainya. Secara fisik ada pula ada tempat-tempat tertentu yang "tidak boleh “disentuh”,apalagi dimiliki secara pribadi. Contohnya adalah bagian hutan tertentu yang merupakan sumber mata-air milik bersama.
Dengan bertolak dari “struktur basis” berupa relasi produksi dalam upaya-bersama mengolah sumber daya alam menggunakan tenaga kerja bersama, mereka membangun “suprastruktur” berupa norma, nilai commoning, aturan, pengetahuan, kepercayaan, serta tata kelola hidup Bersama sebagai sebuah komunitas.
Gangguan Obesitas
Apa boleh buat, dengan masuknya praktik “akumulasi primitif”, di mana secara membabi-buta hutan dan tanah adat diambil-alih oleh negara (dalam kerjasama dengan kapital) untuk kepentingan industri, masyarakat agraris subsisten dengan segenap mekanisme reproduksi sosialnya menjadi hancur berantakan. Tradisi hilang, konsep pemahaman waktu berubah, relasi antara manusia dengan alam yang telah lama membimbing hidup bersama lenyap, sementara sistem reproduksi-sosial yang telah terbangun secara bergenerasi hancur berantakan.
Ruth mencontohkan beberapa masyarakat agraris-subsisten yang akibat adanya praktik akumulasi primitif menjadi berjarak dengan alam sekitarnya dan jatuh ke dalam pola “ekonomi hutang” yang dikelola oleh para tukang kredit. Bersamaan dengan itu,ketergantungan kepada makanan olahan pabrik menjadikan banyak anak dalam masyrakat tersebut mengalami gangguan obesitas. “Obesitas memang berbeda dengan stunting”, tegas Ruth, “namun dua-duanya membahayakan kesehatan.”
Secara Bersama
Di tengah semakin terpinggirkannya masyarakat agraris-subsisten, Ruth menunjukkan, masih ada di antara mereka yang relatif berhasil untuk merebut kembali ruang-ruang bersama yang telah dirampas oleh praktik-praktik akumulasi primitif itu. Ia memberi contoh masyarakat di desa Bandung Jaya, Kabupaten Kepahyang, Bengkulu, di Sumatera Selatan. Pada tahun 1986 tanah dan hutan adat mereka diambil oleh kekuatan kapital, tetapi pada tahun 2014 mereka berhasil merebutnya kembali. Mereka lalu menjadikannya sebagai perhutanan sosial. Perjuangan untuk merebut kembali tanah dan hutan itu dipimpin oleh seorang tokoh perempuan yang mengedepankan pentingnya konsep commoning dan sentralnya peran perempuan. Di bawah kepemimpinan tokoh perempuan tersebut, tanah dan hutan adat itu dijadikan ruang untuk kegiatan ekonomi, sosial dan budaya.
Di akhir paparannya Ruth mengajak semua pihak untuk ikut bersedia memikirkan nasib komunitas-komunits subsisten yang telah menjadi korban akumulasi primitif. Ia juga mendorong kesediaan semua pihak untuk tak enggan mengambil inspirasi dari mereka yang sedikit banyak telah mampu melakukan resistensi terhadap brutalnya praktik akumulasi primitif. Salah satunya adalah dengan mengembangkan konsep tata-kelola ruang-hidup yang lebih bersifat inklusif dan berkelanjutan, dengan cara mengedepankan konsep commoning. Melalui konsep tersebut diharapkan bahwa orang akan semakin tergerak untuk membangun dan mengedepankan kepentingan bersama, dan bukan hanya melulu kepentingan pribadi.
__
Tentang PRAKSIS
PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) adalah lembaga riset dan advokasi berbadan hukum milik Serikat Jesus Provinsi Indonesia yang bergerak di bidang penelitian tentang hak-hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial dan rekonsiliasi sosial. Dalam dimensi advokasinya, PRAKSIS mendampingi dan melayani para korban ketidak-adilan serta mereka yang tersisihkan secara sosial, ekonomi dan politik.
Berita Trending
- 1 Cuan Ekonomi Digital Besar, Setoran Pajak Tembus Rp1,22 Triliun per Februari
- 2 Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Puskesmas bisa Diakses Semua Warga
- 3 Ekonomi Biru Kian Cerah! KKP dan Kemnaker Maksimalkan Peluang Lapangan Kerja
- 4 Bukan Arab Saudi, Negara Penghasil Kurma Terbesar Dunia Berasal dari Afrika
- 5 Menpar Sebut BINA Lebaran 2025 Perkuat Wisata Belanja Indonesia
Berita Terkini
-
Sejumlah Musisi Tanah Air Meriahkan KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2025
-
Pengemudi Online Kerja di Dua Aplikasi Bisa Dapet BHR
-
Jaga Stamina Selama Ibadah Puasa, Dosen UGM Bagikan Tipsnya
-
QRIS Tap Bisa Dipakai Lewat wondr by BNI, Naik Transportasi Jadi Makin Mudah
-
THR Untuk Ojol Harus Diapresiasi dan Diawasi