Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pasar Keuangan - Rupiah Terkoreksi Paling Dalam di Antara Mata Uang Asia

Fondasi Ekonomi Domestik Ikut Menekan Rupiah

Foto : Sumber: Bloomberg
A   A   A   Pengaturan Font

>>Benahi defisit dagang agar rupiah tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal.


>>BI dinilai tak punya pilihan lagi selain menaikkan bunga acuan mengikuti The Fed.

JAKARTA - Kurs rupiah kembali menembus level psikologis 14 ribu rupiah per dollar AS pada hari pertama pembukaan perdagangan setelah libur panjang Lebaran, Kamis (21/6).

Memanasnya kembali tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok menimbulkan ketidakpastian ekonomi global, sehingga membuat dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.


Selain itu, dari dalam negeri juga belum muncul sinyal kuat perbaikan fundamental ekonomi, terutama defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), yang mampu memperbaiki posisi rupiah.


Di tengah pelemahan mayoritas mata uang Asia terhadap dollar AS, Kamis, nilai tukar rupiah di pasar spot terpangkas 170 poin (1,22 persen) menjadi 14.102 rupiah per dollar AS.

Pada perdagangan terakhir sebelum libur Lebaran, Jumat (8/6), mata uang RI juga berakhir melemah sebesar 57 poin (0,41 persen) menuju level 13.932 rupiah per dollar AS.


Koreksi terhadap kurs rupiah kemarin merupakan yang paling dalam di antara mata uang utama Asia lainnya. Sedangkan secara year to date (ytd) per 21 Juni 2018, rupiah terdepresiasi sebesar 4,04 persen.


Menanggapi hal itu, ekonom Indef, Eko Listiyanto, mengemukakan tekanan terhadap rupiah tidak akan berakhir dengan mudah.

Bahkan, gejolak nilai tukar mata uang RI itu diprediksi bakal berlanjut hingga akhir tahun. "Kenapa? Karena belum ada optimisme baru dalam fundamental ekonomi untuk bisa membuat ekspektasi bahwa ke depan kondisinya akan membaik," kata dia, di Jakarta, Kamis (21/6).


Menurut Eko, data-data perekonomian domestik cenderung stagnan, tanpa perbaikan yang berarti. Meskipun inflasi rendah, tapi diikuti juga dengan kecenderungan data konsumsi yang bias.

Selain itu, walaupun harga barang-barang pada musim Lebaran ini relatif stabil, tapi memunculkan kekhawatiran soal penurunan daya beli. Sebab, kalangan pedagang mengisyaratkan penurunan omzet penjualan.


Dia menambahkan, defisit neraca perdagangan juga memberikan andil bagi pelemahan rupiah belakangan ini. Celakanya, untuk memacu kinerja ekspor yang tinggi dalam waktu dekat ini agak mustahil.

Apalagi, tren proteksionisme AS dikhawatirkan juga menular ke negara tujuan ekspor Indonesia. "Itu makin menggambarkan titik lemah dalam rupiah ini," jelas Eko.


Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, juga mengemukakan persoalan utama yang harus dibenahi agar rupiah tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal adalah memperbaiki kinerja perdagangan internasional, bukan hanya mengurangi defisit transaksi berjalan.

"Bukan CAD, tapi neraca dagangnya. Artinya, ekspor barang dan impornya defisit. Itu harus diatasi dulu," kata dia, Kamis.


Darmin mengakui tekanan terhadap rupiah lebih banyak disebabkan kinerja neraca perdagangan yang selalu defisit.

Sejak Januari hingga April 2018, neraca dagang mengalami defisit tiga kali. "Kita harus mencari jalan untuk mengembalikan neraca perdagangan kita," jelas dia.


Pemerintah, kata Darmin, telah menyusun kebijakan untuk meningkatkan kinerja industri melalui ekspor. Hal ini diharapkan dapat mengembalikan geliat ekspor domestik yang cenderung lesu dalam beberapa bulan terakhir.


Bunga Acuan


Darmin juga mengungkapkan Bank Indonesia (BI) sudah tidak memiliki pilihan lagi selain menaikkan bunga acuan ketika Bank Sentral AS (The Fed).

"Kita perhatikan kecenderungan menaikkan bunga di AS. Itu kemungkinan akan berjalan beberapa kali. Nah, itu berarti tingkat bunga kita akan terpangaruh naik," kata dia.


Mantan Gubernur BI itu menilai apabila BI tidak mengikuti kebijakan moneter AS, maka nilai tukar rupiah akan terganggu.


The Fed diperkirakan menaikkan kembali bunga acuan sebanyak dua kali lagi sampai akhir tahun ini, setelah bulan ini untuk kali kedua dalam 2018 mengerek bunga ke kisaran 1,75-2,00 persen.

Sedangkan BI pada Mei lalu dua kali menaikkan bunga acuan masing-maing 0,25 persen menjadi 4,75 persen.


Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menilai idealnya spread aman antara suku bunga acuan BI dengan The Fed adalah 300-325 basis poin.

"Jika Fed Rate saat ini 2 persen, maka BI-7 Day Reverse Repo Rate semestinya berkisar 5,0-5,25 persen," papar dia. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top