Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Film "Barbie" Memantik Kemarahan di Negara-negara Arab

Foto : AFP/YASSER AL-ZAYYAT

Kuwait melarang film "Barbie" untuk alasan tradisi masyarakat dan etika publik.

A   A   A   Pengaturan Font

DUBAI - Setelah dilarang di beberapa negara Arab, film "Barbie" memecah penonton di negara-negara Teluk yang konservatif.

Di Uni Emirat Arab dan Arab Saudi - negara-negara yang tidak mengizinkan wanita mengemudi atau menonton bioskop hingga 2018 - penggemar mengantre dengan abaya merah muda, jubah tradisional yang menutupi seluruh tubuh, untuk menonton film hits ini.

Namun tidak semua orang merasa nyaman dengan perayaan emansipasi perempuan di wilayah di mana sikap terhadap pemberdayaan perempuan hanya berubah perlahan.

Sebuah foto yang direkayasa memperlihatkan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan Presiden UEA Mohamed bin Zayed dalam jubah merah jambu disebarkan secara luas di media sosial, dan seorang pendakwah Bahrain yang populer mencerca apa yang dia anggap sebagai agenda progresif film tersebut.

Bahrain adalah salah satu negara Teluk yang menayangkan film "Barbie". Di Kuwait, film ini dilarang. Di Qatar atau Oman belum dirilis. Di Timur Tengah yang lebih luas, Aljazair dan Lebanon melarang.

"Kami tidak pernah membayangkan film seperti itu akan ditayangkan di negara-negara Teluk," kata Wadima Al-Amiri, seorang warga Emirat berusia 18 tahun, kepada AFP di sebuah bioskop Dubai yang penuh sesak. Ia menawarkan popcorn merah muda kepada penonton yang mengenakan pakaian berwarna senada.

Film yang dibuat oleh film maker feminis, Greta Gerwig, tidak memuat referensi LGBTQ secara eksplisit, namun secara halus mengacu pada topik keberagaman dan inklusi, serta menampilkan aktor transgender.

Di Dubai, yang menyebut dirinya sebagai pusat kosmopolitan Teluk, bioskop dihiasi dengan memorabilia dan bilik foto berbentuk kotak boneka.

Mounira, seorang warga Saudi berusia 30 tahun, bersama ketiga putrinya yang berpakaian merah jambu di sebuah teater Dubai.

"Jika film itu memuat prinsip atau konsep yang bertentangan dengan apa yang kami yakini, maka film itu tidak boleh ditayangkan di Arab Saudi atau di negara-negara Teluk lainnya," katanya kepada AFP.

"Tapi kami datang untuk memberi film ini kesempatan."

Menantang Maskulinitas

Media sosial dilanda kegilaan Barbie.Sebuah video Barbie raksasa yang dibuat secara digital di sebelah Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia, dibagikan oleh ribuan orang.

Pemberdayaan perempuan ditampilkan di awal film ini. Berbagai Barbie termasuk presiden, diplomat, dan hakim Mahkamah Agung, pekerjaan yang secara tradisional diserahkan kepada laki-laki.

Ketika alur cerita terungkap, patriarki mengancam akan menginfeksi 'Barbieland' -- sebuah negeri utopia matriarkal di mana laki-laki bersantai di pantai sementara perempuan menduduki peran bergengsi.

Film ini telah membuat heboh Arab Saudi, negara di mana para aktivis perempuan masih menghadapi tuntutan atas unggahan di media sosial yang melanggar aturan berpakaian dan homoseksualitas dilarang di sebagian besar wilayah tersebut.

Restoran-restoran di ibu kota Riyadh memperkenalkan hidangan dan minuman yang terinspirasi Barbie ke dalam menu mereka.Tapi tidak semua orang terkesan.

Hanan Al-Amoudi, ibu empat anak asal Saudi yang sedang menunggu untuk menonton film lain di Dubai, mengatakan tidak tertarik menonton "Barbie".

"Saya mendukung kebebasan dan keterbukaan, tapi sehubungan dengan 'Barbie', saya dengar itu menantang maskulinitas," katanya sambil mengenakan abaya hitam dan niqab yang menutupi wajahnya.

"Bagi seorang pria yang menyerupai seorang wanita dengan memakai make-up, dan berpakaian (banci)... ini sesuatu yang saya tidak suka," katanya, mengacu pada karakter Ken yang flamboyan yang diperankan Ryan Gosling.

Putih dan Dangkal

Di Bahrain, "Barbie" telah memicu kemarahan pengkhotbah Islam Hassan Al-Husseini yang diikuti oleh jutaan orang di media sosial yang menyerukan agar film itu dilarang.

Dalam sebuah unggahan Instagram, ia mengkritik film itu karena "memberontak terhadap gagasan pernikahan dan peran sebagai ibu" dan menampilkan pria "tanpa kejantanan" atau menggambarkan mereka sebagai "monster".

Keberatan serupa juga diajukan di Kuwait, yang memblokir film itu dengan alasan "melindungi etika publik dan tradisi masyarakat".

Kuwait adalah satu-satunya negara Teluk Arab pada bulan ini yang melarang film horor Australia "Talk to Me" yang menampilkan aktor transgender tetapi tidak menyebutkan isu LGBTQ.

Orang Kuwait, bagaimanapun, masih bisa menonton "Barbie" melalui situs pembajakan atau bahkan dengan berkendara melintasi perbatasan ke Arab Saudi.

Wartawan Kuwait Sheikha Al-Bahaweed menyiarkannya secara online, tetapi kecewa karena dia merasa film itu tidak cukup feminis atau inklusif.

"Film itu menunjukkan feminisme kulit putih, kolonial dan superfisial," katanya.

"Feminisme tidak pernah didasarkan pada penggantian sistem patriarki dengan sistem matriarkal, melainkan… feminisme didasarkan pada kesetaraan, keadilan, dan persamaan kesempatan."

Tapi bagi Reefan al-Amoudi, seorang Saudi berusia 18 tahun, "Barbie" mendorong agenda feminis terlalu jauh.

"Sangat menyenangkan bagi seorang wanita untuk bekerja dan mandiri," katanya di bioskop Dubai.

"Tetapi tubuhnya tidak seperti tubuh laki-laki. Dia mampu melakukan segala sesuatu seperti laki-laki, tetapi dalam batas tertentu."


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top