Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
WAWANCARA

Erna Hernawati

Foto : KORAN JAKARTA/M. FACHRI
A   A   A   Pengaturan Font

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, telah melantik dan mengambil sumpah jabatan Erna Hernawati. Pelantikan Erna dilakukan bersama sembilan pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lain, di Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat (26/10).

Untuk mengetahui apa saja yang akan dilakukan jajaran pimpinan UPN Veteran Jakarta ke depan, wartawan Koran Jakarta, Eko Nugroho dan Yolanda Permata Putri Syahtanjung berkesempatan mewawancarai Rektor UPN Veteran Jakarta, Erna Hernawati di ruang kerjanya, lantai 2 Gedung Rektorat UPN Veteran Jakarta, Kamis (15/11). Berikut petikan selengkapnya.

Program kerja apa yang akan Anda lakukan selama menjadi rektor?

UPN mempunyai rencana strategis (renstra) untuk rencana setiap periode empat tahun. Kami sudah membuat renstra itu sampai tahun 2025. Sesuai dengan visi kami, saya melanjutkan renstra periode Prof Eddy. Programprogram tersebut terkait dengan kami, tahun 2025 menuju ke PTN Badan Hukum (BH). Artinya, program yang akan saya laksanakan adalah program-program yang menjadi indikator dari PTN BH.

Apa tantangan terbesar ke depan?

Tantangannya masalah akademik. Tuntutan Industri 4.0, di mana dengan adanya kondisi 4.0 tersebut, dari sisi akademik kurikulum kami harus segera banting stir untuk menyesuaikan. Hal ini menuntut dukungan keuangan. Harus ada perubahan dari sisi akademik yaitu sarana prasarananya, seperti dukungan-dukungan laboratorium untuk menunjang sisi akademik.

Tantangan terbesar berikutnya, untuk lulusannya. Untuk lulusan ke depan sesuai dengan era industri, yang berarti kami harus menyiapkan lulusan yang bisa berkompetisi di era yang digital seperti itu.

Bagaimana cara agar UPN Veteran Jakarta bisa menyamai PTN lain?

Saat ini, UPN masih masuk dalam kluster PTN Satuan Kerja (Satker) karena masih baru, sedangkan PTN lain yang sudah lama seperti Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran sudah menjadi PTN BH. Untuk masingmasing kluster ini memang ada kategorinya. Bisa memasuki PTN BH saat dia sudah punya kriteria tertentu, misalnya sudah memiliki publikasi yang masuk dalam sembilan besar di tingkat nasional.

Kami harus menuju ke sana, UPN sesuai visinya 2025 menuju PTN BH. Kami dalam periode 2018-2022 sedang mempersiapkan untuk menuju ke sana. Salah satu indikator PTN BH itu program studi di PTN lebih dari 80 persen adalah A. Sementara kami punya 26 program studi yang A baru dua. Berarti ini tantangan besar untuk empat tahun ke depan, berapa persen yang harus saya buat A.

Bagaimana agar lulusan UPN dapat menciptakan lapangan kerja?

Dulu empat tahun ke belakang (saat PTS) kami agak sulit menanamkan kepada mahasiswa untuk bekerja mandiri, tapi sekarang mahasiswa sudah mulai kreatif untuk punya usaha sendiri. Mereka itu tidak mau terikat kerja hanya dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore, misalnya.

Jadi ke arah situ lebih mudah untuk kami dorong. Institusi juga memfasilitasi agar mahasiwa itu lebih kreatif, seperti ada program kreativitas mahasiswa. Kami membantu dengan dukungan dana untuk mereka mengikuti lombalomba kreativitas.

Apakah UPN sudah menjalin kerja sama dengan dunia industri?

Sekarang ini PTN arah kerja sama dengan industri meningkat cukup tajam. Dekan-dekan sudah mulai bekerja sama dengan industri. Salah satu keuntungannya yaitu adanya beasiswa. Ini merupakan tuntutan mahasiswa, berikutnya ingin ada program magang. Sekarang, kami sudah mulai membangun kerja sama.

Apa perbedaan menonjol dari UPN yang tadinya PTS menjadi PTN?

Perbedaannya ini cukup signifikan sebenarnya. Sekarang dengan sudah menjadi PTN, di awal saja kami menerima animo mahasiswa sampai sekitar 25 ribu mahasiswa, tingkat keketatan kami ada di posisi 6 persen. Artinya, dari mahasiswa yang mendaftar hanya 6 persen yang kami terima. Mereka itu sangat terseleksi sehingga bisa menghasilkan lulusan yang cepat.

Kedua, perbedaan dalam hal pengelolaan keuangan. Kalau dulu lebih fleksibel karena dari yayasan, tapi kalau sekarang dengan PTN kami mengelola keuangan negara. Keuangan negara itu sangat rigit karena segala sesuatu harus jelas, seperti laporan pertanggungjawaban, pelaporan ke Badan Pemeriksa Keuangan, dan lain-lain.

Selanjutnya dari masalah status aset. Dulu punya Kementerian Pertahanan (Kemhan), lalu beralih ke Kemenristek tentunya ada pengalihan. Sampai sekarang status menjadi Kemeristekdikti ini belum final. Itu juga permasalahan yang cukup berat dalam pengembangan.

Apakah pemerintah turut membantu dalam menunjang akademik dari segi infrastruktur dan lain-lain?

Ada. Banyak sekali kalau menurut saya, dibandingkan dengan waktu masih PTS. Bantuan pemerintah itu sangat enak. Betapa beratnya dulu kami menjadi PTS. Setelah menjadi PTN, kami merasakan dalam penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM), terdapat rekrutmen CPNS misalnya. Artinya, kita bisa merekrut di mana hasil rekrutan itu betul-betul terseleksi. Dari sisi dukungan dana, pemerintah juga untuk gaji-gaji non-PNS difasilitasi. Ada pelatihan-pelatihan. Saya kira untuk saat ini sangat besar bantuan pemerintah.

Pandangan Anda melihat biaya perkuliahan yang mahal?

Ini yang selalu yang jadi perbincangan terkait biaya perkuliahan yang mahal. Namun, mungkin orang melihat biaya kuliah mahal dari uang kuliah tunggal (UKT) tertinggi. UKT tertinggi itu benar memang ada, tapi itu adalah UKT yang paling tinggi. Kami punya kategori UKT itu 1 sampai 8, mulai dari 500 ribu rupiah, satu juta rupiah, bisa dibayangkan sebarannya dari 500 ribu rupiah sampai 6,4 juta rupiah.

Kami mempunyai sistem sendiri. Sampai sejauh ini tidak ada yang merasa terlalu berat, karena kami memberikan pilihan sesuai dengan data yang terukur. Jadi menurut saya berkeadilan, karena biaya kuliah itu sesuai dengan kemampuan orang tua. Tinggal kejujuran dari masyarakat untuk menyampaikan data ke kami.

Bagaimana Anda melihat para dosen di UPN?

Dosen kami ini ada yang sisa dari PTS, di mana proses rekrutmen waktu kami PTS tidak seselektif saat kita PTN. Ada dosen-dosen yang masih perlu penyesuaian dengan kondisi tuntutan dosen PTN. Tuntutannya itu di animo mahasiswa yang sudah istimewa, sudah terseleksi dengan ketat. Mereka itu pintar-pintar, tentunya menuntut dosen yang pintar juga.

Menurut Anda, apakah fasilitas di UPN sudah memadai?

Kami ini sudah empat tahun menjadi negeri. Namun, sebenarnya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) kami itu baru mulai tahun 2016. Berarti efektifnya baru dua tahun karena pada 2014 dan 2015 itu kami masih diurusi oleh yayasan. Dengan proses penegerian dua tahun dan notabennya kami belum diberikan bantuan sarana prasarana (Sarpras) oleh pemerintah. Sudah banyak perubahan signifikan untuk penyediaan Sarpras baik untuk mahasiswa, ruang kerja, dan lain-lain. Kami mempunyai tujuh fakultas, yang kami inginkan semua laboratoriumnya bagus. Sekarang belum mencapai 50 persen.

Bagaimana Anda melihat mahasiswa UPN sekarang?

Mereka sudah terseleksi sangat ketat. Hasil tes di UPN cukup bagus, masuk peringkat 10 besar. Artinya, mahasiwa yang ada di UPN ini adalah mahasiswa istimewa semua.

Bagaimana Anda melihat mahasiswa yang melakukan demo?

Kalau menurut saya, di lingkungan perguruan tinggi aspirasi bisa disalurkan tidak melalui demo. Waktu saya masih menjadi dekan di Fakultas Ekonomi saya mencoba membangun komunikasi dengan mahasiswa, saya memosisikan bahwa mahasiswa ini adalah yang paling utama untuk dilayani. Saya selalu menekankan bahwa piramida pelayanan itu berbeda dengan piramida kewenangan. Kalau kewenangan rektor paling tinggi, tapi kalau mahasiswa menjadi yang terendah. Kalau dari pelayanan yang diprioritaskan ini menjadi terbalik, justru pimpinan ini menjadi prioritas terakhir, tapi mahasiswa menjadi utama.

Saya berterima kasih kepada organisasi mahasiwa. Jadi, mereka itu sudah membangun dengan sendirinya ingin berkomunikasi dengan kami. Kami sering diundang dalam forum untuk curhat mereka tentang masalah sarpras, di mana kami datang sebagai pimpinan, mendengar apa harapan mereka. Mudah-mudahan ke depan demo tidak menjadi salah satu cara yang dipilih oleh mahasiswa UPN, tapi itu pun menuntut kami di pimpinan untuk bisa berkomunikasi.

Harapan untuk Mahasiswa UPN?

Dalam masa transisi tentunya banyak hal yang belum ideal. Namun, jangan dijadikan ini sebagai kendala dalam hal prestasi akademik. Mahasiswa fokuskan saja untuk masalah akademik dan kegiatan non-akademik. Kami akan mendukung kegiatan-kegiatan mereka, cuma perlu bersabar dalam hal fasilitas. Kami sekarang sudah memiliki mash classroom. Di PTN/PTS di Jakarta mungkin relatif hanya beberapa yang memiliki mash classroom.

Fasilitas baru mash classroom?

Kendala yaitu lahan yang sangat jauh kalau dibandingkan dengan misalnya UI atau PTN lain. UPN Jakarta ini hanya mempunyai dua kampus yang sudah aktif, Pondok Labu seluas 2,5 hektare lalu Limo 2,5 hektare. Satu lagi di Cariuk, Bogor, Jawa Barat, yang akan dikembangkan seluas 30 hektare. Yang aktifnya hanya 5 hektare.

Dengan kondisi perkembangan digital dan industri 4.0 itu mungkin justru kekurangan UPN dari lahan yang sempit akan menjadi keunggulan karena kami memanfaatkan dunia digital dengan adanya mash classroom. Tanpa harus bertatap muka atau melakukan sistem pembelajaran yang tidak konvensional lagi. Sekarang arah dari pendidikan kami digital. Semua mungkin nanti tinggal bangunan kosong paling tidak hanya untuk wisuda kami ketemu. Buat saya berkah juga untuk UPN.

UPN yang di Cariuk rampung kapan?

Kami baru mulai membuat masterplan untuk fakultas-fakultas, tapi di dalam rencana strategis kami waktu itu Prof Eddy merencanakan untuk secara bertahap pengembangannya.

Bagaimana Anda membagi waktu untuk keluarga, pekerjaan, dan hobi?

Tidak perlu waktu yang khusus jadi tidak ada kendala, karena hobi saya adalah traveling dan membaca. Jadi bisa sekalian, hobi sekaligus kerja. Untuk traveling banyak sekalian dinas. Untuk membagi waktu untuk kerja dan keluarga, tidak ada masalah. Saya diuntungkan dengan kondisi keluarga yang anak sudah pada dewasa dan sudah nikah. Hanya tinggal satu, tapi dia sudah bekerja dan pulangnya lebih malam dari saya.

Kenapa Anda bersedia menjadi rektor?

Sebenarnya saya sendiri tidak punya program untuk menjadi rektor ataupun wakil rektor. Sebelumnya, saya menjadi dosen dan menjadi Kepala Laboratorium. Setelah itu, saya ikut suami dinas ke Surabaya. Di Surabaya selama delapan tahun dan saya ambil S3. Saya kembali ke Jakarta, masuk ke Fakultas Ekonomi (FE) UPN.

Ini delapan tahun saya tinggalkan rasanya tidak ada perkembangan. Akhirnya temanteman mempercayakan saya menjadi dekan FE. Selesai satu periode, saya merasa tanggung ada yang mau dikerjakan yaitu akreditasi, terus akhirnya dua periode. Dalam perkembangannya, ada tuntutan tugas menjadi wakil rektor. Sekarang malah terpilih menjadi rektor.

N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top