Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Endometriosis Sering Lambat Didiagnosis

Foto : ISTIMEWA

kondisi perempuan sakit

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Endometriosis adalah kondisi ketika endometrium tumbuh di luar dinding rahim. Pada kondisi ini, endometrium dapat tumbuh di indung telur (ovarium), lapisan dalam perut (peritoneum), usus, vagina, atau saluran kemih. Jika tidak ditangani bisa menimbulkan infertilitas.

Menurut WHO, endometriosis menyerang 10 persen perempuan usia produktif di seluruh dunia dan terus menjadi kasus serius di tingkat Global dan Regional. "Endometriosis merupakan penyakit yang sangat individual, dengan gejala dan dampak yang bervariasi," ujar Ketua Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (Perfitri) Prof. Dr. dr. Wiryawan Permadi, Sp.OG(K) dalam webinar Selasa (29/3).

Ia menerangkan, beberapa orang memiliki nyeri yang ringan saat haid, namun ada yang memiliki gejala nyeri haid berat dan berulang. Prevalensi endometriosis sebagai penyakit kronik progresif dengan rasa nyeri tinggi di Indonesia, menurut Djuwantono (2008) berkisar antara 3 persen - 10 persen.

Perempuan dan anak perempuan yang memiliki kerabat dekat dengan endometriosis memiliki kemungkinan 7-10 kali lebih besar untuk memiliki endometriosis. "Endometriosis juga dilaporkan menelan biaya yang sangat mahal dalam perawatan kesehatan, ketidakhadiran dan kehilangan partisipasi sosial dan ekonomi," jelas Prof. Wiryawan.

Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia(Hiferi) juga berupaya meningkatkan kesadaran terkait endometriosis lewat program-program peningkatan akses ke layanan yang sesuai dengan penderita endometriosis. "Misalnya seperti membuat konsensus pedoman klinis berbasis bukti yang efektif, meningkatkan akses ke daerah pedesaan dan regional, dan lain-lain.

"Kami berupaya menyediakan informasi yang lebih baik, akses untuk deteksi dini, diagnosis, intervensi, manajemen, dan perawatan. Hiferi juga turut mendukung penelitian-penelitian yang relevan terhadap endometriosis," tuturnya.

Staf Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Departemen OBGYN FKUI-RSCM dr. Achmad Kemal Harzif, SpOG(K), menjelaskan, salah satu yang sering dialami oleh pasien endometriosis adalah keterlambatan diagnosis. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa rata-rata mengalami keterlambatan diagnosis selama 6 - 7 tahun.

"Dari data penelitian pasien yang berkunjung ke RSCM, didapatkan rata-rata pasien membutuhkan waktu 6 bulan sejak timbul gejala hingga datang ke dokter. Selain itu pasien juga rata-rata sudah menjalani terapi di 4 fasilitas kesehatan selama 3.5 tahun sebelum akhirnya benar-benar dirujuk," jelas dr. Kemal.

Hal ini, tambahnya, tentu terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah minimnya pengetahuan terkait penyakit ini. Dampaknya, penanganannya hingga saat ini belum maksimal. Untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, perlu dilakukan beberapa hal seperti menormalisasi nyeri haid.

"Apabila nyeri haid terasa dengan intensitas tinggi, mengganggu aktifitas dan kadang terjadi nyeri di luar haid maka endometriosis perlu dicurigai. Lalu kunjungi fasilitas kesehatan dan lakukan beberapa pemeriksaan. Jika benar endometriosis, pasien akan segera bisa diberikan obat-obatan yang khusus menanganinya," jelasnya.

Achmad menjelaskan, tujuan pengobatan dilakukan secara lebih dini adalah untuk mengendalikan perkembangan penyakit endometriosis dengan menurunkan kadar hormon estrogen yang memicu perkembangan penyakit dan gejalanya. Pengendalian tersebut harus berada di kadar yang tepat sehingga menghindari efek jangka panjang akibat turunnya estrogen yang terlalu rendah.

Psikolog Rika Vira Zwagery menjelaskan, dalam pengalamannya selama ini, tak jarang perempuan yang menderita endometriosis mengalami kecemasan, gangguan suasana hati, kehilangan kontrol diri, ketakutan, merasa tidak berdaya, pesimis, hingga depresi. Di tengah tekanan-tekanan yang dirasakan saat menjalani pengobatan mereka akan cenderung mengalami stress bahkan depresi.

"Jika dianalogikan, endometriosis dan kondisi psikologis ini bisa dikatakan sebagai pendulum, keluhan fisik yang dialami oleh penderita endometriosis akan berdampak pada kesehatan psikologis dan kesehatan psikologis akan mempengaruhi gejala endometriosis," jelas Rika.

Rika menambahkan, perempuan penderita endometriosis harus didukung dengan support system yang kuat. Support system tersebut terdiri dari pasangan, keluarga, rekan kerja, dokter, psikolog dan komunitas pasien yang bekerjasama dan saling memberikan dukungan untuk mengoptimalkan kondisi pasien.

Head of Medical Dept Pharmaceuticals PT Bayer Indonesia Dr. Dewi Muliatin Santoso, memaparkan, endometriosis terus menjadi kasus serius di tingkat Global dan Regional. Oleh karena itu, kami antusias ingin melihat hasil Pedoman Tatalaksana Asia ini demi membantu tenaga kesehatan menangani kasus.

"Dengan meningkatkan standar diagnosis dan pengobatan di Asia, kami berharap mereka dapat memberikan hasil yang terbaik bagi pasien. Perawatan endometriosis yang tidak murah menimbulkan beban serius bagi kesehatan fisik dan mental perempuan," ujar dia.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top