Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pendanaan - Era Suku Bunga Rendah Sudah Berlalu

Emiten Mesti Bisa Siasati Tren Kenaikan Bunga

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Tren kenaikan suku bunga mendorong emiten agar lebih jeli dalam melakukan pendanaan, dalam hal ini terkait pembayaran utang kembali (refinancing) atau menata ulang profil (reprofiling) utang. Untuk itu, emiten bisa menggunakan model fixed rate (bunga tetap) apabila ingin menawarkan pendanaan melalui surat utang maupun kredit.

Direktur Strategi sekaligus Kepala Makro Ekonomi, PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, mengatakan tren kenaikan suku bunga pinjaman sangat jelas terlihat setelah Bank Indonesia (BI) menaikkan bunga acuan BI 7 Days Repo Rate (7-DRR) sebanyak 125 basis poin (bps) menjadi 5,50 persen pada tahun ini.

"Kenaikan suku bunga tidak bisa dibantah lagi. Kalau saya emiten tentunya ini menyangkut demand and supply, daripada cost-nya suatu saat naik maka lebih baik issue-nya dipercepat, tinggal masalahnya di credit risk. Perusahaan-perusahaan yang memiliki credit risk baik maka akan dihargai," kata Budi saat dihubungi, Rabu (29/8).

Begitupula bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki credit risk bagus, kas yang kuat, serta mampu menjangkau banyak hal mesti memanfaatkan fix rate. "Bagi emiten tentu kepentingannya akan lebih baik kalau menerbitkan fixed rate," ujarnya.

Menurut Budi, bagi emiten harus memiliki credit risk sebab fixed rate merujuk pada beberapa hal, seperti apakah lebih tinggi dari tingkat inflasi, persaingan dengan government bond dan berapa spread di atas government bond. Kemudian, tenornya jangan terlalu panjang sehingga lebih baik memberikan tenor pendek saja.

"Bagaimanapun kita tidak akan tahu sepanjang apa suku bunga BI akan terus bergerak naik," jelas Budi. Menurut Budi, ke depan masih ada sejumlah variabel yang mempengaruhi suku bunga, yakni dollar AS yang terus menguat, harga energi yang kian naik, dan kondisi ekspor Indonesia yang belum bagus.

"Bank Indonesi juga dalam posisi dilematis antara mengutamakan stabilitas sistem keuangan atau stability over gross atau harus menaikkan suku bunga acuan," kata Budi. Kendati demikian, Bank Indonesia juga memberikan stimulus dengan menurunkan Loan to Value (LTV), menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dan lainnya serta menyediakan fasilitas swap.

"Ini penting untuk menjaga kredibilitas bank sentral. Sebab, kalau dibandingkan dengan kejadian di Turki dan Argentina, bank sentral kita sudah melakukan kebijakan diferensiasi. Dari situlah pasar bisa membeda-bedakan antarnegara berkembang yang satu dengan lainnya," jelas Budi.

Komitmen Stabilitas

Budi menjelaskan, masifnya faktor yang memengaruhi rupiah harus bisa menunjukkan suatu komitmen untuk stabilitas. Sebab, tanpa stabilitas maka cost of financing defisit akan membengkak, padahal ingin menggerakkan ekonomi.

"Sementara pengeluaran pemerintah jauh lebih besar dari penerimaannya, karena itu kita masih tergantung sumber daya keuangan luar negeri berarti kita harus menunjukkan stability di mata uang," pungkasnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Investa Saran Mandiri, Hans Kwee, menambahkan era suku bunga rendah sudah berlalu. "Emiten harus berpikir bahwa ke depan tren suku bunga masih akan bergerak naik ke atas," katanya. Hans menegaskan tahun depan peluang kenaikan suku bunga lanjutan kemungkinan masih akan terjadi.

Dari situ untuk pinjaman pun lebih baik memberikan fixed rate. "Jadi untuk pinjaman itu fixed rate harus lebih ditawarkan dengan perkiraan suku bunga ke depan akan naik," ujar dia.

yni/AR-2

Penulis : Yuni Rahmi

Komentar

Komentar
()

Top