Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Elite Sebarkan Hoaks

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Bangsa Indonesia beberapa waktu belakangan sebenarnya tengah berduka dan prihatin karena bencana alam Lombok disusul Palu dan Donggala. Dalam suasana keprihatinan ini mestinya seluruh rakyat fokus ke daerah bencana tersebut dengan mengumpulkan bantuan agar meringankan beban para korban. Mereka sangat membutuhkan banyak pertolongan karena kerabat, harta, rumah, dan psikis luluhlantak.

Sayang, di saat banyak saudara di Lombok, Palu, dan Donggala dalam situasi kesedihan mendalam, elite-elite di Jakarta malah menyebarkan hoaks. Juga ada kelompok yang fokus memanfaatkan hoaks untuk kepentingan politik. Padahal, partai-partai tanpa diminta telah dengan sadar menghentikan kampanye (di daerah bencana). Lalu mengapa, di luar daerah bencana, mereka terus saja berpolitik, bahkan menyerang pihak lawan?

Aktivis Ratna Sarumpaet sangat tidak terpuji - entah dilakukan sendiri atau disuruh orang lain - telah berbohong. Di depan Amien Rais, Prabowo, dan Fadli, dia mengaku dipukuli, malahan dikeroyok, walau akhirnya dia mengaku sebagai produsen terbaik hoaks. Kubu Prabowo yang menerima pengakuan Ratna ini, lalu mengadakan konperensi pers (konpers). Kubu capres-cawapres 01 merasa tersasar dari isi konpers Prabowo.

Mereka melihat, laporan Ratna bak amunisi top untuk menyerang. Mungkin karena amunisi ini dianggap begitu strategis dan diyakini jitu untuk menyerang lawan, tanpa mengecek lebih mendalam lagi, kubu capres-cawapres 02 mengadakan konpres. Bahkan Benny K Harman, salah satu ketua DPP Demokrat, terang-terangan menyerang Presiden Joko Widodo dalam media sosialnya. "…Presiden memelihara preman dan diduga kuat yang meninju Ratna adalah preman-preman suruhan Presiden."

Tak pelak, Sekjen Partai Nasdem, Johnny G Plate, melihat posting-an Benny tersebut sebagai serangan serius kepada Kepala Negara. Memang tuduhan Benny sangat serius, apalagi diarahkan kepada Kepala Negara. Diksinya pun "gawat" seperti dalam kalimat, "Presiden memelihara preman dan diduga kuat yang meninju Ratna adalah preman-preman suruhan Presiden." Bahasa seperti ini sebagai tuduhan serius, berani, dan amat mengandung konseskuensi hukum karena dikeluarkan seorang petinggi partai dan diarahkan kepada Kepala Negara. Aparat hukum tentu sudah tahu yang harus dilakukan terkait cuitan Benny tersebut.

Ratna, Prabowo Subianto, dan elite-elite di kubu caprescawapres nomor urut 02 sudah menyatakan permintaan maaf. Namun, menurut Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, kasus kebohongan penganiayaan Ratna Sarumpaet tidak selesai hanya dengan minta maaf. TKN tengah menyiapkan langkah-langkah hukum.

Memang sangat disayangkan, tokoh sekelas Prabowo dan di situ ada Amien Rais begitu gegabah ikut menyebarkan berita bohong yang dibuat Ratna. Perlu dipertanyakan peran lingkaran terdekat Prabowo. Apa masukan yang mereka berikan. Mestinya lingkarannya mengingatkan untuk mengecek lebih mendalam. Atau jangan-jangan lingkarannya justru memberi masukan kurang baik, sehingga menjerumuskan.

Ratna lupa masyarakat sudah cerdas. Apalagi kepolisian sekarang sudah canggih. Kalau hanya mengusut kebohongan seperti itu, mudah sekali, bagi polisi. Mungkin kalau kejanggalan-kejanggalan tidak diungkap di media, bisa jadi Ratna tidak mengadakan konferensi pers mengakui kebohongan. Malahan banyak netizen mengatakan, andai tidak terbongkar, dia akan membuat kebohongan demi kebohongan lain lagi.

Pertanyaan besarnya, untuk apa Ratna membuat kebohongan seperti itu? Kalau alasannya untuk menjawab pertanyaan keluarga, sangat tidak signifikan. Pasti ada maksud besar lain, bukan untuk menjawab pertanyaan keluarga. Ini tugas polisi membongkar motif kebohongan Ratna. Polisi juga harus menelusur dana musibah Danau Toba, apakah ikut terpakai untuk berobat karena rekeningnya sama dengan yang untuk membayar biaya operasi plastik.

Yang tak boleh ketinggalan, tentu semua yang ikut menyebarkan hoaks Ratna ini harus ditangkap agar memberi efek jera. Kalau tidak ditangkap, akan ada penilaian bahwa polisi tebang pilih. Sebab sebelum ini polisi telah menangkap delapan penyebar hoaks terkait bencana. Kasus Ratna adalah "bencana" hoaks terbesar, maka penyebarnya juga harus siap menghadapi konsekuensi hukum karena telah membuat kegaduhan nasional di tengah negara sibuk mengurus bencana Lombok, Palu, Donggala, dan Sigi.

Komentar

Komentar
()

Top