Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"El Clasico" Pilpres

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Agung SS Widodo, MA

Peta calon presiden (capres) semakin jelas setelah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mendeklarasikan diri maju sebagai capres pada Pemilu 2019. Keputusan tersebut setidaknya menjadi tanda bahwa Joko Widodo, dipastikan akan bertarung kembali dengan rival yang pernah dikalahkan pada Pemilu 2014. Jika situasi politik seperti ini tidak berubah, kontestasi mendatang bisa diibaratkan "el classico" pemilihan presiden.

Publik masih mengharapkan agar panggung politik tidak hanya diisi pertarungan dua kandidat ini. Mereka menunggu nama baru yang mampu menjaga ritme kontestasi tetap dinamis dan elegan. Adapun kemunculan nama baru hanya bisa diharapkan dari Partai Demokrat yang hingga kini belum menentukan sikap. Akankah dia maju membawa calon sendiri ataukah hanya mendukung salah satu dari dua kandidat.

Jika tidak ada "kuda hitam" yang muncul sebagai penarik perhatian dalam pertarungan antara Jokowi dan Prabowo, pertarungan keduanya akan terulang. Secara sosiologis, jika ini terjadi sebenarnya peta dukungan politik tidak akan banyak berubah. Tidak menutup kemungkinan ada kejutan-kejutan di tengah-tengah pertarungan karena meski elektabilitas Jokowi sampai masih tertinggi, persentase elektabilitasnya belum sampai 50 persen. Berdasarkan hasil Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, elektabilitas Jokowi berada pada angka 38,4 persen, sedangkan Prabowo di angka 24,6 persen.

Semakin menghangatnya momentum pertarungan klasik antara Jokowi dan Prabowo akan membawa para pendukung kembali ke nuansa kontestasi lima tahun lalu. Ajang pertarungan tersebut setidaknya hanya akan mengabarkan satu pesan siapa terkuat. Nalar tersebut adalah jebakan berpikir dalam suatu demokrasi di mana sejatinya pesan yang harus tertangkap kuat dibenak rakyat, gagasan dan visi untuk Indonesia mendatang.

Tidak bisa dipungkiri, dewasa ini tiap kubu pendukung telah terjebak pada titik petarungan psikologis yang hanya menyentuh perdebatan kulit ansich. Maka, tidak menutup kemungkinan jika pertarungan kelak mengulang kegaduhan pemilu tahun 2014. Wajah demokrasi seperti inilah yang relevan dengan pernyataan Jean Jacques Rousseau. Dia pernah ditanya, "Apa yang menyebabkan Imperium Romanum runtuh?" Rousseau menjawab, "Demokrasi ibarat buah yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung sehat yang mampu mencerna." Jangan-jangan "lambung" yang rakyat miliki sebagai prasyarat untuk mencerna demokrasi sejatinya telah sakit.

Bagi sebagian orang, pertarungan klasik sangat ditunggu-tunggu karena ada persoalan harga diri dan eksistensi yang dipertaruhkan. Tidak menutup kemungkinan pertarungan seperti inilah yang akan terjadi antara Jokowi dan Prabowo. Padahal dalam nalar demokrasi, tidaklah penting soal harga diri dan eksistensi. Sebab pertarungan ini bukanlah antara dua orang yang mencari ketenaran.

Di sinilah titik krusialnya. Partai politik pengusung harus mampu menghadirkan narasi politik yang cerdas dan mencerahkan. Kata kuncinya ada pada penguatan literasi politik masyarakat dengan menyuguhkan gagasan-gagasan solutif persoalan bangsa. Warga jangan lagi digiring pada nalar sesat yang hanya berbicara pada persoalan personal sehingga memungkinkan munculnya kampaye hitam.

Disiapkan

Dalam sebuah pertarungan, ada beberapa yang perlu disiapkan selain menunjukkan performa figur yang bertarung. Satu yang tidak kalah penting, persoalan aksesibilitas yang memungkinkan warga mengakses informasi secara utuh tentang kandidat yang akan bertarung. Parpol pengusung harus bertanggung jawab penuh untuk menyajikan informasi yang benar, tanpa harus menyerang lawan politik. Kecerdasan publik dalam meramaikan kontestasi politik sangat dipengaruhi perilaku politik para kontestan, sehingga nantinya preferensi politik rakyat benar-benar didasarkan pada informasi valid. Rasionalitas publik dalam memilih menjadi garansi yang harus diperhatikan setiap kandidat agar pertarungan berlangsung fair.

Hastaq #jokowi2periode maupun #2019gantipresiden, yang saat ini sedang ramai diperdebatkan pada lini massa Facebook, jika kita mampu mengubah cara pandang bisa menjadi pendidikan politik yang cukup konstruktif. Secara konstitusional, ini sah-sah saja dan tidak melanggar etika demokrasi. Justru tagar tersebut alangkah baiknya bila bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran parpol dalam memberi gagasan.

Ini dalam artian, jangan hanya berhenti pada tagar ansich. Tetapi juga harus memberi narasi atas wacana tersebut. Mari cermati data infografis milik Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesisa (APJII) tahun 2016, berdasar data tersebut ada 51,8 persen atau sekitar 132,7 juta dari total penduduk yang mengakses internet. Juga jika dikerucutkan lagi pada persoalan hoax, ada 91,8 persen menyatakan sering menerima mengenai politik di mana 88,6 persen menyatakan menerima hoax SARA.

Maka, perdebatan kulit yang hanya pada persoalan tagar sudah tentu tidak akan mendidik apa pun kepada rakyat. Namun, sebaliknya, parpol harus mampu menyingkap alur berpikir dan gagasan yang akan dipertarungkan. Publik sudah jenuh dengan segala kegaduhan yang selama ini terjadi. Maka, menjadi PR bagi parpol dan pemerintah untuk mengembalikan proses demokrasi yang akan berlangsung menjadi sebuah panggung kontestasi yang nikmat untuk dilihat. Kuncinya ada pada literasi politik rakyat, sehingga nantinya menjadi "lambung" yang sehat untuk mencerna proses demokrasi yang berlangsung, sebagaimana kritik Jean Jacques Rosseau.

Mari nikmati pertarungan (klasik) politik ini, jika nantinya tidak ada kandidat calon presiden yang lain, dengan membawa harapan atas peradaban demokrasi Indonesia yang lebih baik. Salah satu caranya dengan tiap-tiap elemen menjadi lambung-lambung yang sehat bagi demokrasi. Satu yang tidak kalah penting sikap legawa, pertarungan politik bukanlah ajang peraduan harga diri pribadi. Ini adalah pertarungan sportif untuk membawa bangsa lebih optimis di masa mendatang.

Tidak perlu lagi terjebak pada politik kepentingan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Kewarasan kita berdemokrasi akan membawa hawa positif bagi kontestasi politik. Juga yang lebih penting membawa narasi keindonesiaan lebih beradab.


Penulis Peneliti Sosial Politik Pusat Studi Pancasila UGM

Komentar

Komentar
()

Top