Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Perdagangan

Eksportir Sawit Wajib Serahkan Bukti Penjualan Dalam Negeri

Foto : ANTARA/AKBAR TADO
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan larangan atau pembatasan ekspor minyak sawit setelah harga minyak goreng dalam negeri sempat melambung akibat kekurangan bahan baku.

Kebijakan untuk memastikan agar pasokan dalam negeri dipenuhi terlebih dahulu itu tertuang dalam Permendag Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Permendag No 19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor efektif berlaku sejak Senin (24/1).

Dalam aturan tersebut setiap perusahaan yang akan mengekspor minyak sawit wajib mengantongi persetujuan dari pemerintah terlebih dahulu. Kewajiban pencatatan itu mencakup ekspor minyak sawit mentah (CPO, refined, bleached, and deodorized palm olein (RBD palm olein)) serta minyak jelantah harus melalui mekanisme perizinan berusaha berupa persetujuan ekspor.

Untuk memperoleh persetujuan, eksportir harus memenuhi persyaratan yang mencakup surat pernyataan mandiri bahwa telah menyalurkan CPO, RBD palm olein, dan UCO untuk kebutuhan dalam negeri.

Selain itu, eksportir juga harus melampirkan kontrak penjualan, rencana ekspor dalam jangka waktu enam bulan dan rencana distribusi ke dalam negeri dalam jangka waktu enam bulan.

Kejar Keuntungan

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masyhuri, yang diminta pendapatnya, mengatakan kenaikan harga minyak goreng semestinya membuka mata, kalau ada yang keliru dalam tata niaga sawit di Indonesia yakni para pelaku perkebunan sawit hanya mengejar keuntungan besar dari ekspor dan mengorbankan masyarakat konsumen dalam negeri.

"Jadi ini soal tata niaga hulu hilirnya ya. Kalau pengusaha ya ngejar harga tinggi, tapi jangan lupa Presiden selalu bilang untuk bangun industri nilai tambah. Tambang dibangun smelter nah CPO, cokelat, kopi, ini bagaimana pengaturannya, pemerintah tidak boleh diam," kata Masyhuri.

Negara-negara maju, seperti Tiongkok pun melarang para pengusahanya untuk menjual barang mentah ke luar negeri. Semua yang diekspor adalah barang jadi sehingga ekonominya bisa tumbuh 8,1 persen, bahkan pernah 2 digit. Dengan industri nilai tambah, value added product, maka Indonesia baru bisa bersaing dengan negara-negara lain.

Tetapi, semua pengaturan tidak boleh merugikan pengusaha sehingga pemerintah harus benar-benar memberi jalan lebih menguntungkan jika value added di dalam negeri dilakukan oleh pengusaha.

Melalui berbagai kebijakan yang menguntungkan industri hilir di dalam negeri maka kejadian seperti CPO langka di dalam negeri tidak akan terjadi.

"Kita pemasok 50 persen kebutuhan CPO dunia kok sampai minyak goreng langka? Kan seperti tikus mati di lumbung padi. Kuncinya adalah Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memenuhi pasar dalam negeri untuk industri nilai tambah nasional yang ditopang kebijakan panjang industri yang menguntungkan semua pengusaha yang terlibat di dalam ekonomi dalam negeri," papar Masyhuri.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top