Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Komoditas Unggulan I Pada 2017, Nilai Ekspor Sawit Tumbuh 26 Persen dari Tahun Sebelumnya

Ekspor Sawit Masih Prospektif

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Untuk menggenjot ekspor sawit, pemerintah perlu membuka sejumlah negara baru tujuan ekspor tanpa meninggalkan pasar-pasar tradisional serta mengatasi sejumlah hambatan dagang, termasuk isu sustainability dan tariff barriers.

Jakarta - Komoditas minyak sawit diperkirakan masih sangat prospektif dalam satu dekade ke depan. Untuk itu, pemerintah perlu menggenjot ekspor sawit dan produk turunnya, termasuk dengan melakukan diversifikasi pasar.

Tahun lalu, komoditas sawit dan turunannya masih berkontribusi besar dalam pembentukan surplus perdagangan Indonesia sebesar 11,84 miliar dollar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor sawit pada 2017 mencapai 22,97 miliar dollar AS, naik 26 persen dibandingkan capaian pada tahun sebelumnya.

Pengamat ekonomi, Bustanul Arifin, mengatakan nilai ekspor minyak sawit berbanding lurus dengan produksi. Terlebih lagi, lanjutnya, harga rata-ratanya juga meningkat. Bahkan, Dia memperkirakan hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat.

"Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu. Karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung," kata Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) itu, di Jakarta, Senin (5/2).

Meski demikian, dia memperingatkan kepada para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu sustainability atau keberlangsungan masih akan terus menjadi kendala. Karena itu, pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang.

"Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier," katanya.

Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru, misalnya negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Russia, negara-negara di Timur Tengah yang dinilai sebagai pasar prospektif. Namun, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional, seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, Tiongkok jangan ditinggalkan.

"Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang," katanya.

Menurut dia, berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang yang semakin ketat.

Diplomasi Dagang

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai hingga kini Indonesia masih bergantung pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70 persen dari total negara tujuan ekspor.

"Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru. Pakistan, Eropa Timur, Afsel, Afrika Utara ini juga sangat potensial. Oleh karena itu, tahun 2018 harus buka pasar alternatif itu," katanya.

Selain itu, tambahnya, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor, sebab setiap negara selalu menerapkan tarif dan nontarif. Amerika Serikat, misalnya, saat ini menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih protektif.

Saat ini, AS telah menerapkan lebih dari 2.000 hambatan nontarif , Tiongkok mempunyai 4.000 hambatan nontarif, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan nontarif.

"Itu yang menyebabkan kita tidak bisa masuk ke pasar mereka. Kita harus memperkuat diplomasi perdagangan, baik secara bilateral maupun multilateral, sehingga hambatan nontarif tadi bisa berkurang," katanya.

Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia, harus bersama-sama melakukan diplomasi. Pemerintah harus lebih aktif lagi di WTO agar bisa menangi sengketa dagang. mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top