Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proyeksi Pertumbuhan I Hingga Akhir Tahun, Daya Beli Masyarakat Tertekan

Ekonomi Indonesia Triwulan II-2024 Diperkirakan Melambat

Foto : Sumber: BPS, CORE - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Setelah tumbuh 5,11 persen pada triwulan I-2024, beberapa pengamat ekonomi memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2024 bakal melambat. Pelambatan itu karena tidak ada momentum yang bisa mendorong konsumsi terus bertumbuh.

Peneliti Ekonomi dari Celios, Nailul Huda, memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun ini berkisar di angka 4,8-4,9 persen atau lebih lambat dibandingkan triwulan I, karena pada saat itu ada faktor pendorong yaitu Ramadan.

Huda menerangkan faktor pendorong di triwulan II yaitu Lebaran, tetapi hal itu sudah dirasakan di triwulan. Tahun ajaran baru terjadi di bulan Juli dan libur sekolah juga terjadi akhir Juni hingga awal Juli.

Di sisi lain, daya beli masyarakat tertekan dengan kenaikan harga kebutuhan, termasuk kenaikan dollar yang mendorong imported inflation. Hingga akhir tahun, daya beli masih tertekan, terlebih harga komoditas tidak kunjung stabil.

"Jadi, tahun ini pertumbuhan ekonomi nampaknya di angka 4,85-5,05 persen," kata Huda.

Diminta pada kesempatan lain, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan jika tidak dimanipulasi, pertumbuhan ekonomi kita tahun ini di bawah angka 5 persen.

"Kalau tidak dimanipulasi antara 3,5-4 persen," ujarnya.

Dia pun meragukan pertumbuhan ekonomi yang selalu di angka 5 persen. Hal itu malah terkesan sengaja dipertahankan di angka 5 persen, padahal sebenarnya di bawah itu.

Ia juga ragu pada pertumbuhan ekonomi QI bisa mencapai 5,11 persen, sebab sejumlah indikator menunjukkan pelemahan, seperti penjualan mobil dan motor yang masing-masing turun 23 persen dan 4,87 persen pada Q1-2024.

"Bagaimana mungkin ekonomi masih bisa bertumbuh 5,11 persen. Apalagi, pemerintah kerap menerima saja laporan itu tanpa menganalisis kejanggalan datanya. Tahun 2019, misalnya, tidak sedikit lembaga ekonomi internasional yang mempertanyakan laporan pertumbuhan ekonomi kita yang di angka 5,2 persen," katanya.

Produktivitas Rendah

Guru Besar bidang Ilmu Ekonomi Moneter dan Perbankan Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan proyeksi ekonomi Indonesia menunjukkan ada pelambatan disebabkan banyak faktor, antara lain adanya eskalasi geopolitik yang belum juga selesai dan ketidakpastian politik di AS dalam menghadapi pemilu yang akan berlangsung 5 November 2024. Untuk mendukung pertumbuhan yang lebih kuat, dia meminta pemerintah membenahi BUMN agar lebih efesien dan profit.

"Sampai 2030 paling juga mentok 5 persen, kecuali BUMN dibenahi karena sumbangan output-nya lebih dari 30 persen terhadap GDP kita. Dan itu perlu kerja keras. Mengharapkan new investment untuk mendongkrak growth berat karena ICOR kita itu sekitar 7," katanya.

Apalagi ekonomi nasional didominasi sektor tradisional UMKM yang produktivitasnya sangat rendah. Makanya, ekonomi nasional mengalami decreasing marginal return on capital.

"Lihat saja indeks saham IHSG kita yang tidak ke mana-mana Production function of economy itu misalnya.

Sebelumnya, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2024 dan untuk keseluruhan tahun 2024 masing-masing sebesar 4,9 persen sampai 5 persen.

"Kami proyeksikan setelah kuartal I kemarin realisasi pertumbuhan ekonomi di 5,11 persen, di kuartal kedua tahun ini kami prediksikan hanya 4,9 sampai 5 persen, jadi ada perlambatan," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, dalam CORE Midyear Economic Review 2024: Mitigasi Risiko Ekonomi Jelang Pemerintahan Baru, di Jakarta, Selasa (23/7).

Faisal menuturkan ada enam risiko ekonomi di tataran global dan juga berpengaruh terhadap perdagangan luar negeri di Indonesia dan konsumsi domestik, yakni pelemahan permintaan dan oversupply di Tiongkok, penurunan kinerja ekonomi AS, dan penguatan harga energi dan ancaman inflasi.

Selanjutnya, ada risiko terkait pertumbuhan ekspor yang sangat lambat, lonjakan impor dan pelebaran defisit dengan Tiongkok, serta pelemahan konsumsi domestik.

Adapun proyeksi per komponen dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) RI tersebut, meliputi konsumsi rumah tangga yang diprediksi akan tumbuh pada 4,8 persen hingga 4,9 persen, konsumsi LNPRT (Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga) 18,4 persen sampai 20,2 persen, konsumsi pemerintah 6,4 persen hingga 7,9 persen, PMTB (pembentukan modal tetap bruto) 4,6 persen hingga 4,6 persen, ekspor 1,9 persen, serta impor 1,8 persen.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top