Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Proyeksi Pertumbuhan 2023 I IMF Perkirakan Ekonomi Dunia Tumbuh Kurang dari 3 Persen

Ekonomi Global Sangat Bergantung Tiongkok dan India

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

» IMF melihat aktivitas ekonomi di AS dan kawasan Euro melambat. Suku bunga di sana lebih tinggi dan membebani permintaan.

» Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus mengupayakan agar ekonomi dalam negeri bergerak lebih cepat.

JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2023 tumbuh kurang dari 3 persen. Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dalam keterangannya yang diterima baru-baru ini mengatakan dari proyeksi tersebut, Tiongkok dan India diproyeksikan menyumbang setengah dari pertumbuhan ekonomi global tahun ini.

"Pertumbuhan masih lemah menurut perbandingan historis, baik dalam jangka pendek maupun menengah," kata Georgieva, dalam pidatonya di Washington DC menjelang pertemuan musim semi IMF-Bank Dunia pekan depan.

Lebih lanjut, dia mengatakan beberapa momentum datang dari emerging economy dan Asia merupakan titik terang. "Tiongkok dan India diperkirakan menyumbang setengah dari pertumbuhan global pada 2023, sedangkan negara-negara lainnya menghadapi jalan yang lebih terjal," katanya.

Di sisi lain, IMF juga melihat aktivitas ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan kawasan Euro melambat. Suku bunga di sana lebih tinggi dan membebani permintaan.

Menurut Georgieva, sekitar 90 persen perekonomian maju diproyeksikan mengalami penurunan tingkat pertumbuhan pada tahun ini. "Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan inflasi yang masih tinggi, pemulihan yang kuat masih sulit diwujudkan," kata Georgieva.

IMF juga memproyeksikan pertumbuhan global tetap berada pada angka sekitar 3 persen selama lima tahun ke depan atau terendah sejak 1990 dan jauh di bawah rata-rata 3,8 persen dari dua dekade terakhir.

"Hal ini membuat semakin sulit untuk mengurangi kemiskinan, memulihkan dampak ekonomi akibat krisis Covid-19, serta memberikan peluang baru dan lebih baik untuk semua," kata Georgieva.

Tidak Mandiri

Pakar ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan apa yang dipaparkan petinggi IMF harus diantisipasi oleh pemerintah.

Tingginya kebergantungan Indonesia terhadap Tiongkok dan India akan merugikan Indonesia untuk jangka panjang. Kebergantungan pada negara-negara luar membuat sulit mandiri secara ekonomi dan rentan terhadap dinamika global.

"Perlu bagi kita untuk lebih serius soal pencanangan hilirisasi. Kemandirian ekonomi ini seharusnya makin kuat," kata Suhartoko.

Dihubungi terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Imron Mawardi, mengatakan ramalan Dana Moneter Internasional (IMF) tersebut menunjukkan kondisi perekonomian dunia masih belum mengalami banyak perubahan, dan Indonesia harus mewaspadai tren penurunan harga komoditas.

"Proyeksi IMF ini tidak jauh berbeda dari tahun 2022 yaitu 2,9 persen. Ini menunjukkan kondisi dunia belum banyak mengalami perubahan. Dampak krisis masih dirasakan di pusat-pusat ekonomi dunia seperti Amerika dan Eropa. Itu terlihat dari penetapan suku bunga mereka yang masih tinggi, sehingga ini menghambat perkembangan bisnis dengan tingginya bunga kredit," kata Imron.

Namun, justru negara-negara dengan jumlah penduduk besar yang masih tetap terjaga seperti Tiongkok dan India, karena mereka tertolong oleh tingkat konsumsi warganya. Ini juga dialami Indonesia yang terlihat dari pertumbuhan tahun lalu masih cukup tinggi, 5,2 persen.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan situasi saat ini memaksa semua negara berorientasi pada pasar domestik. Makanya, banyak negara melakukan proteksi terhadap komoditas dalam negeri terutama pangan.

"Kita menyaksikan AS yang terus menaikkan suku bunganya yang ditengarai tidak hanya untuk kepentingan meredam inflasi, tapi juga untuk menarik pulang modal yang selama ini memompa pertumbuhan kawasan lain di seluruh dunia. Ada tekanan kondisi faktual lain, seperti perubahan iklim dan ada tekanan geopolitik, yakni perang Russia- Ukraina dan juga ketegangan dengan Tiongkok," jelas Maruf.

Dengan kondisi tersebut, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus mengerahkan segala daya upaya agar ekonomi dalam negeri bergerak lebih cepat tanpa mengandalkan perdagangan internasional.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top