Ekonomi Bisa Tumbuh 8 Persen jika Reformasi Struktural Dilaksanakan
Foto: Sumber: IMFWASHINGTON - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), pekan lalu, mengatakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya 5 persen untuk tahun ini dan 5,1 persen untuk tahun depan. Dalam laporan Prospek Ekonomi Regional Departemen Asia dan Pasifik, IMF mengatakan fragmentasi perdagangan, khususnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan berdampak serius bagi Indonesia.
"Risiko penurunan nilai tukar mata uang dan pasar keuangan tinggi," kata Wakil Direktur, Departemen Asia dan Pasifik IMF, Thomas Helbling. Menurut Helbling, Indonesia telah menikmati dan diproyeksikan akan terus menikmati pertumbuhan yang kuat dan pesat sekitar 5 persen. Dalam hal angka-angka tertentu, tahun ini saja diperkirakan akan mencapai 5 persen dan tahun depan bisa 5,1 persen dengan memperhitungkan risiko eksternal.
"Saya pikir risiko tersebut sangat mirip untuk Indonesia seperti halnya untuk negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Kekhawatiran penting adalah meningkatnya fragmentasi perdagangan. Yang mungkin sedikit berbeda untuk Indonesia adalah hal ini akan lebih banyak terjadi melalui jalur pasar komoditas daripada hanya melalui jalur manufaktur seperti di negara lain," katanya. "Namun, fragmentasi perdagangan merupakan risiko besar.
Dan untuk kawasan pasar berkembang lainnya di Asia Pasifik atau di tempat lain, kemungkinan pergeseran ekspektasi kebijakan moneter, peningkatan volatilitas pasar keuangan juga menimbulkan beberapa risiko penurunan," ungkap Helbling. Sementara itu, Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, menuturkan dengan memburuknya neraca fiskal selama pandemi, utang publik meningkat rata-rata di negara-negara Kepulauan Pasifik.
Namun, di sebagian besar negara, utang kini telah stabil atau menurun relatif terhadap ukuran ekonomi. Dengan demikian, tujuh dari 12 negara di Kepulauan Pasifik dianggap berisiko tinggi mengalami kesulitan utang dan hanya sekitar 5 yang dianggap berisiko sedang mengalami kesulitan utang. Jadi, ini terkait dengan fakta bahwa perlu ada konsolidasi fiskal yang mendukung pertumbuhan untuk menurunkan utang di negara-negara ini.
Secara detail, Krishna menyoroti prospek ekonomi Tiongkok yang aktivitasnya telah melambat sejak kuartal pertama. "Akibatnya, kami telah menurunkan pertumbuhan menjadi 4,8 persen pada tahun 2024 dibandingkan dengan 5 persen dalam pembaruan WEO bulan Juli. Secara khusus, sektor properti terus memburuk dan membebani investasi, sementara konsumsi swasta juga melemah di tengah rendahnya keyakinan konsumen," katanya.
Permintaan Tiongkok yang lemah memicu tekanan disinflasi yang berkelanjutan seperti yang ditunjukkan di sisi kanan inflasi inti turun menjadi 0,1 persen tahun-ke-tahun pada bulan September. Beberapa perkembangan telah terjadi sejak lembaga tersebut menyelesaikan perkiraan Tiongkok.
Data kuartal III-2024 sedikit lebih lemah dari yang diharapkan. Pada saat yang sama, otoritas mengumumkan langkah-langkah fiskal dan perumahan tambahan yang dapat memberikan beberapa potensi kenaikan pada proyeksi pertumbuhan, terutama pada tahun 2025 ketika langkah-langkah kebijakan kemungkinan akan berlaku.
"Lingkungan eksternal tetap sulit. Jika kita kembali ke kawasan yang lebih luas, lingkungan tempat para pembuat kebijakan Asia akan lebih sulit bertindak karena risiko terhadap prospek kini condong ke arah negatif. Misalnya, ada tanda-tanda awal bahwa permintaan global dapat melemah, termasuk dari Amerika Serikat, yang akan menjadi berita buruk bagi kawasan yang bergantung pada ekspor seperti Asia. Lemahnya permintaan domestik Tiongkok juga terus membebani kawasan yang lebih luas," katanya.
Tidak Realistis
Menanggapi proyeksi IMF itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan IMF hanya memperkirakan ekonomi Indonesia tahun depan tumbuh 5,1 persen. Proyeksi tersebut selisihnya sangat jauh dengan banyak perkiraan terutama dari pendukung pemerintah yang mencanangkan pertumbuhan 7-8 persen beberapa tahun mendatang.
Meskipun oleh beberapa kalangan dinilai tidak realistis, namun target pertumbuhan 7-8 persen bisa saja dicapai dengan tujuh langkah reformasi struktural yang harus diterapkan, antara lain mengurangi kebergantungan pada pangan dan energi yang diimpor, mereformasi kebijakan fiskal dengan moratorium utang terutama obligasi rekap BLBI yang membebani APBN, serta memberi kepastian hukum kepada para investor.
"Kalau target pertumbuhan ekonomi harus dipacu ke level 7-8 persen, artinya sama dengan "terbang" dari yang realistis di level 5 persen. Kalau mau "terbang" harus punya sayap atau reformasi hukum. Kalau reformasi hukum tidak dilaksanakan maka mustahil bisa menarik investor yang bisa mewujudkan target yang ambisius itu," kata Aditya. Dari catatan IMF, kata Aditya, juga menunjukkan kalau ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas, sementara manufaktur terus melambat.
Bukan hanya ekspor produk manufaktur yang turun, tetapi penjualan manufaktur di pasar lokal juga menurun. Makanya, perusahaan seperti Sritex gulun tikar karena tidak bisa bersaing dengan produk manufaktur Tiongkok.
Hal itu karena, pemerintah Tiongkok sudah melakukan reformasi struktural yang membuat produk mereka sangat murah dan kompetitif karena komponen biaya produk mereka sangat efisien. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menegaskan Indonesia sulit tumbuh karena banyaknya "biaya siluman" untuk mengurus perizinan usaha atau investasi.
"Sebagian pengusaha mengaku biaya produksi lain-lain biasanya diminta dari level RT (rukun tetangga) sampai pusat," kata Esther. Hal itu yang menyandera daya pacu ekonomi nasional. Kalau masalah tersebut tidak dibereskan maka investasi tetap akan sulit masuk, pelaku usaha urung merealisasikan investasinya.
Korupsi Harus Dihentikan
Pada kesempatan lain, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan Indonesia selama ini terlalu bergantung pada batu bara, sawit, dan karet. Komoditas itu rentan mengalami goncangan ketika harga global tidak stabil.
Situasi itu juga berdampak pada ketidakstabilan pendapatan negara dan neraca perdagangan yang muaranya memperburuk ekonomi domestik. "Di Indonesia, 'biaya siluman' tinggi. Pajak yang tidak resmi jauh lebih tinggi dari yang resmi.
Dengan biaya yang tinggi tersebut, mana mungkin ekonomi bisa tumbuh 8 persen. Pemerintah harus benarbenar melakukan reformasi total. Publik pun berharap pada Presiden Prabowo yang dinilai bisa dan mampu mereformasi karena punya ketegasan. Korupsi harus dihentikan, karena sekitar 20-30 persen anggaran habis dikorupsi, sementara APBN terus defisit sehingga negara sulit untuk bertahan," kata Badiul. Tanpa reformasi struktural secara total, maka sangat sulit untuk mempertahankan kurs rupiah yang terus merosot.
Apalagi, kalau kebijakan pemerintah terus membesarkan negara eksportir pangan dan energi. Belum lagi jika dibedah, proyeksi pertumbuhan 5,1 persen itu, sekitar 3,5 persen di antaranya adalah kontribusi dari konsumsi dan belanja rumah tangga sekitar 285 juta rakyat. Menurut Badiul, tingginya kontribusi konsumsi itu mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena konsumsi barang impor yang sangat besar.
"Kalau mau 8 persen harus melihat fondasi ekonominya. Kalau negara berkembang, pertumbuhan riilnya lebih rendah dari negara maju, riilnya hanya tumbuh 1,6 persen (5,1 dikurangi 3,5), itu jauh di bawah Korea Selatan dan Singapura. Jadi, jangan lihat 5 persennya, tapi lihat riilnya. Apalagi subsidi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam praktiknya bukan untuk kebutuhan makan, tetapi banyak malah untuk digunakan judi slot, membeli rokok, dan pulsa," paparnya.
Akibatnya, BLT triliunan rupiah yang dialokasikan pemerintah siasia. Hal itu sekaligus menegaskan kalau masyarakat yang berpenghasilan dua juta rupiah per bulan tidak realistis disebut masuk golongan kelas menengah.
Poin penting lainnya, jelas Badiul, yang harus dicermati dari proyeksi IMF adalah kebergantungan ekspor komoditas Indonesia hanya ke Tiongkok. Kalau pembelian komoditas negara ekonomi terbesar kedua dunia itu menurun karena ekspor mereka tertahan akibat pengenaan tarif tinggi di Eropa dan AS, maka permintaan komoditasnya ke Indonesia menurun. Di sisi lain, konsumsi Indonesia sangat bergantung dari Tiongkok. Dengan demikian, maka ekspor barang konsumsi nasional turun, tetapi impornya naik.
IMF sudah pernah mengingatkan kalau utang negara dari BLBI dan Obligasi Rekap tidak dimoratorium selama paling tidak tujuh tahun maka Indonesia tidak memiliki modal untuk tumbuh berkualitas. Presiden sekarang mewarisi beban sangat berat dari rezim-rezim sebelumnya. Ini ibarat orang yang badannya tidak sehat, tidak akan sehat kalau tidak direformasi.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Haris Azhar Temukan Data Dugaan Politisasi Hukum di Pilkada Banten
- Ini Rekomendasi Liburan Akhir Pekan di Jakarta, Ada Konser K-pop 2NE1
- Kemenparekraf Aktivasi Keep the WonderxCo-Branding Wonderful Indonesia
- UMP DKI Jakarta 2025 Diumumkan Setelah Pilkada
- Trump Pilih Manajer Dana Lindung Nilai Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan AS