Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Film Anak

Edukasi Melalui Keberagaman dan Perbedaan

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Televisi menjadi media yang paling sering ditonton anak-anak. Salah satu penyebabnya bisa karena anak-anak lebih tertarik pada sesuatu yang berbau visual.

Populernya film Black Panther awal tahun ini tidak hanya dikarenakan kisah dan pahlawan supernya yang sudah terkenal lebih dahulu. Namun juga film ini banyak mendapatkan pujian dari masyarakat dengan menggunakan aktor dari berbagai latar belakang.

Sama halnya dengan film A Wrinkle in Time dan Black Panther yang mendulang kesuksesan dengan para pemainnya yang berasal dari berbagai ras, begitu pun film Disney terbaru, The Nutcracker and the Four Realms.

Tetapi, tidak peduli betapa banyak uang yang dikeluarkan dan seberapa banyak penghargaan dari film-film tersebut, tapi ada alasan lain yang lebih penting di dalamnya.

Penelitian dari Universitas Tufts, Medford, Massachusetts, AS, mengatakan film-film yang memiliki latar belakang berbeda sangat dibutuhkan anak-anak untuk menciptakan dunianya yang penuh keberagaman. Yang mana, masih jarang bisa didapatkan dan dipelajari anak-anak.

Padahal, untuk menciptakan toleransi salah satunya dapat dipelajari dengan memahami adanya perbedaan dan keberagaman.

Pada 1970-an, Profesor F Earle Barcus dari Universitas Boston mulai menerbitkan hasil penelitian analisis, isinya terkait tayangan televisi anak-anak. Hasilnya ia menemukan adanya perbedaan terhadap jumlah karakter perempuan dan laki-laki, orang kulit putih dan kulit gelap.

Pada penelitian 1983, Barcus menganalisis 1.100 karakter di 20 program televisi anak-anak dan menunjukan hanya terdapat 42 karakter yang berkulit gelap. Dan hanya 47 karakter lainnya yang berada di kategori lainnya, kecuali karakter berkulit putih.

Sejak saat itu, para peneliti pun secara konsisten menemukan pada dunia animasi anak-anak yang mereka saksikan di televisi, tidak berjalan selaras dengan lingkungan asli mereka tinggal.

Sementara peneliti di Universitas Trufts, menemukan fakta baru kalau saat ini dunia animasi televisi anak jauh lebih beragam dibandingkan sebelumnya. Semisalnya, tokoh karakter perempuan yang menjadi satu per tiga dari jumlah semua karakter animasi.

Ras dan etnik pun saat ini jauh lebih beragam pula. Misalnya karakter berkulit gelap ada sekitar 5,6 persen dari jumlah sampel mereka, yaitu lebih dari 1.500 karakter. Sangat berbeda pada hasil penelitian yang dilakukan Gilbert Mendelson dan Morissa Young pada 1972, yang menemukan lebih dari 60 persen tayangan televisi anak-anak tidak memiliki ras minoritas dalam tayangan mereka. Untuk karakter-karakter Asia atau Asia-Amerika memiliki perolehan yang sedikit lebih banyak, sekitar 11,6 persen, meskipun ada beberapa program kartun terkenal seperti Avatar the Legend of Aang dan Legend of Korra yang seluruh karakternya adalah orang Asia.

Sayangnya, tayang animasi anak-anak yang masih populer, banyak yang diproduksi di negara-negara maju seperti AS. Sedangkan untuk animasi-animasi dari negara-negara Asia, seperti Jepang lebih sering dinikmati penonton yang lebih dewasa. Sehingga, untuk menciptakan keberagaman pada tayangan animasi anak-anak masih jalan yang panjang.

Di AS sendiri, populasi Afrika-Amerika diperkirakan ada di angka 13,3 persen dari jumlah keseluruhan penduduk AS. Sementara, ras Hispanik dan Latin berada di angka 17,8 persen. gma/R-1

Dampak Penciptaan Tokoh Stereotype

Karakter-karakter stereotype pun masih bermunculan semisalnya tokoh jahat yang biasanya digambarkan menggunakan dialek aneh atau bukan aksen Amerika. Seperti Dr. Doofenshmirtz dari Phineas and Ferb ataupun Nightmare Moon pada My Little Pony: Friendship is Magic.

Para peneliti memperkirakan, penggunaan karakter stereotype seperti ini dikarenakan faktor ekonomi agar tayangan tersebut menjadi populer. "Jika sesuatu berjalan lancar seperti sebelumnya, maka orang akan cenderung melakukannya lagi meskipun itu karakter stereotype," kata salah satu sutradara yang menjadi sampel penelitian mereka.

Pengisi suara karakter Afrika-Amerika pun diceritakan saat menjalani audisi, biasanya mereka diminta untuk mengatakan sesuatu yang terdengar "urban" atau kode mereka untuk dialek Afrika-Amerika.

Padahal, banyak penelitian dari berbagai bidang yang mengatakan bahwa penting bagi anak-anak untuk melihat dan mengetahui karakter yang tidak seperti dirinya ataupun keluarga mereka. Ini untuk menciptakan keberagaman di sekeliling mereka.

Dari penelitian yang dilakukan Universitas Trufts menunjukan anak-anak di kelas satu dan dua sekolah dasar, mampu mengkategorikan gambar-gambar tokoh kartun yang belum pernah mereka lihat sebelumnya dengan label baik dan jahat.

Faktanya, banyak anak yang mengembangkan ide dan menceritakan cerita kenapa mereka berpikir bahwa karakter tersebut itu baik dan jahat dengan minimnya informasi. Itu dikarenakan anak-anak percaya pada bagaimana program televisi menggambarkan stereotype karakter baik dan jahat. Tentu hal itu dapat berdampak pada kepribadian anak dan mudahnya anak untuk menilai sesuatu berdasarkan stereotype yang diciptakan. gma/R-1

Edukasi Menyambut Natal

Salah satu tayangan kartun anak-anak yang populer saat ini adalah We Bare Bears, yang mengisahkan tiga karakter beruangan yang memiliki latar belakang berbeda. Ada beruang kutub, beruang Grizzly dan juga panda.

Ketiganya mencerminkan etnik dan ras yang berbeda-beda meskipun dalam wujud beruang. Namun dengan perbedaan yang dimiliki, mereka tetap bersama-sama mencari jalan keluar jika mengalami masalah.

Latar belakang seperti itulah yang mendorong Mal Taman Anggrek untuk membawa ketiga beruang menggemaskan tersebut dalam perayaan Natal dan tahun baru kali ini.

"Kami ingin mengedukasi anak-anak dengan karakter yang memiliki latar belakang dan jenis yang berbeda, namun mereka tetap bersama," tutur Elvira Indrisari, Advertising and Promotion Manager Mal Taman Anggrek.

Selain itu, mereka turut menghadirkan empat jendela marionette yang menceritakan ketiga beruang ini dalam membantu Santa Klaus mempersiapkan hadiah Natal untuk anak-anak di seluruh dunia.

Marionette sendiri merupakan boneka puppet yang dikendalikan melalui kawat atau benang-benang dan bisa bergerak. Sehingga para pengunjung terutama anak-anak, dapat menangkap kisah We Bare Bears dengan cukup interaktif.

Elvira pun merasakan animo yang cukup besar dari masyarakat dalam menyambut We Bare Bears di Indonesia untuk perayaan Natal kali ini, di samping bahwa karakter tersebut populer di kalangan anak-anak hingga orang dewasa.

"Kami berharap dapat membawakan sesuatu yang unik dan berbeda bagi para pengunjung, yang tidak hanya sekedar melakukan aktivitas berbelanja, melainkan juga pengalaman yang berbeda," harap Elvira.

Ia menambahkan, pengunjung yang ditargetkan anak-anak dapat menangkap pesan moral seperti menghargai keberagaman karakter dari latar belakang, ras atau pendapat yang berbeda, namun mereka tetap bersama tanpa perselisihan. We Bare Bears akan terus ada di Mal Taman Anggrek hingga 6 Januari 2019 dan pengunjung dapat dengan bebas melihat empat jendela marionette yang disediakan. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top