Selasa, 18 Mar 2025, 01:05 WIB

Dunia Usaha Merespon Negatif Kebijakan Ekonomi Pemerintah

Aditya Hera Nurmoko Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta - Investor melihat ketidakpastian yang tinggi, sehingga alih-alih mengalir ke instrumen domestik, justru terjadi capital outflow yang menekan pasar saham dan rupiah.

Foto: istimewa

JAKARTA - Performa sejumlah indikator ekonomi pada dua bulan pertama awal 2025 kurang menggembirakan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus menjadikan momentum itu sebagai alarm bahwa tidak akan mudah mengarahkan target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dalam beberapa tahun ke depan.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Senin (17/3) menyayangkan sejumlah indikator ekonomi yang semakin meragukan. Penerimaan pajak yang baru saja diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi alarm serius terhadap target pertumbuhan ekonomi.

“Pajak adalah indikator utama dalam melihat kekuatan ekonomi riil. Jika penerimaan pajak anjlok, maka ini menandakan aktivitas ekonomi masyarakat dan dunia usaha belum pulih atau justru mengalami kontraksi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan optimisme pertumbuhan yang dipatok tinggi oleh pemerintah,” kata Aditya.

Selain pajak, Aditya juga menyayangkan kinerja bursa dan nilai tukar rupiah yang mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Ia menilai bahwa kebijakan efisiensi yang dijalankan pemerintah justru mendapat respons negatif dari data-data makroekonomi.

“Investor melihat ketidakpastian yang tinggi, sehingga alih-alih mengalir ke instrumen domestik, justru terjadi capital outflow yang menekan pasar saham dan rupiah. Ini menjadi tantangan bagi stabilitas ekonomi nasional ke depan,” jelasnya.

Di sisi lain, Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) tumbuh 5,1 persen yoy per Januari 2025. Hal itu perlu dicermati Pemerintah dengan hati-hati terutama dalam mengelola ketergantungan pada utang luar negeri.

“Peningkatan ULN harus dikawal dengan kebijakan fiskal yang solid, karena jika tidak disertai dengan peningkatan penerimaan negara, maka beban pembayarannya bisa semakin berat di masa mendatang,” ujarnya.

Aditya menegaskan bahwa pemerintah harus lebih serius dalam mendorong indikator-indikator positif guna membangun kembali kepercayaan publik dan investor.

“Jangan hanya mengandalkan retorika optimisme. Pemerintah harus membuktikan dengan kebijakan yang konkret untuk memperbaiki daya beli masyarakat, memperkuat sektor riil, dan memastikan insentif ekonomi benar-benar efektif dalam mendorong pertumbuhan,” katanya.

KPI Harus Jelas

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, utang luar negeri yang jatuh tempo dari tahun ke tahun semakin naik, sehingga perlu diwaspadai.

“Saya pesimis dengan target 8 persen dengan kebijakan ekonomi yang kurang pas. Sebab, kelihatannya yang dilakukan bukan efisiensi anggaran tetapi realokasi anggaran,”ungkapnya.

Oleh sebab itu, semua anggaran hasil relokasi dananya harus tersalur dengan benar dan diawasi agar tidak terjadi skandal korupsi. Anggaran juga harus diaudit dengan Key Performance Indikator (KPI)-nya harus jelas, begitu juga ?targetnya harus terukur.

Selama ini, katanya KPI tidak jelas, karena yang dilihat hanya besarnya serapan anggaran.

“Harusnya alokasi anggaran terukur, untuk berapa persen mortality rate turun, persentase poverty alleviation dan lain sebagainya. Jadi anggaran terserap jelas untuk peruntukannya,”pungkas Esther.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: