Dunia Semakin Tertinggal dalam Upaya Mengakhiri Kelaparan dan Kemiskinan
KEMISKINAN MENINGKAT 0,03 PERSEN I Warga beraktifitas di area pemukiman tak layak huni di Jakarta, Kamis (19/1). Berdasarakan data BPS tingkat kemiskinan di Indonesia per September 2022 mencapai 9,57 persen atau sebanyak 26,26 juta orang, dimana angka tersebut meningkat sebanyak 0,03 persen dari pendataan pada Maret 2022.
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA» Krisis pangan yang sedang berlangsung kemungkinan akan berlanjut pada 2023.
» Banyak petani kecil menderita karena krisis biaya hidup, terbatasnya akses pangan, dan pupuk.
DAVOS - Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (International Fund Agriculture Development/IFAD) dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, pada Rabu (18/1), memperingatkan bahwa krisis pangan yang sedang berlangsung kemungkinan akan berlanjut pada 2023.
Ketua IFAD, Alvaro Lario, kepada Xinhua seperti diberitakan Antara, mengatakan pihaknya memperkirakan pada 2023 ini situasi tidak lebih baik dari tahun 2022.
"Beberapa kekurangan dalam rantai pasokan global yang kami lihat pada tahun 2022 akan berdampak pada tahun 2023," kata Lario. "Kami bekerja dengan banyak mitra kami untuk melihat bagaimana dengan situasi stok pupuk. Namun, untuk 2023 tidak akan banyak kabar baik mengingat musim tanamnya dari tahun 2022," katanya.
Lario mengatakan bahwa tindakan yang ditempuh untuk mengatasi krisis pangan belum cukup untuk mengatasi masalah dan masih butuh investasi yang lebih besar.
"Kami melihat banyak petani kecil menderita karena krisis biaya hidup, terbatasnya akses pangan dan pupuk. Sayangnya, musim tanam telah berlalu," katanya.
"Namun, ada beberapa inisiatif yang sedang berlangsung tentang bagaimana mengatasi kekurangan sistem pangan. Beberapa di antaranya terkait dengan perpajakan, subsidi, distribusi, dan produksi. Kami sedang mencari cara untuk meningkatkan secara besar-besaran investasi yang masuk ke sistem pangan," kata Lario.
IFAD mengatakan sebanyak tiga perempat orang termiskin di dunia tinggal di daerah perdesaan di negara berkembang. Sebagian besar dari mereka bergantung pada pertanian untuk mata pencaharian mereka.
Perubahan iklim, pertumbuhan populasi global, dan harga makanan dan energi yang tidak stabil berpotensi mendorong jutaan orang yang lebih rentan ke dalam kemiskinan dan kelaparan ekstrem pada 2030.
Laporan "State of Food Security and Nutrition" yang diterbitkan oleh lima badan PBB, termasuk IFAD, Juli lalu, dunia semakin tertinggal dalam upaya mengakhiri kelaparan dan kemiskinan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Ini menunjukkan bahwa jumlah orang yang terkena kelaparan secara global naik menjadi 828 juta orang pada tahun 2021, meningkat sekitar 150 juta orang sejak merebaknya pandemi Covid-19.
Energi dan Pupuk
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang berbasis di Roma, pada akhir pekan lalu, mencatat harga pangan global pada 2022 lalu naik 14,3 persen dibanding tahun 2021. Kenaikan itu didorong oleh harga energi dan pupuk yang melonjak tinggi akibat konflik Russia dan Ukraina.
Subindeks FAO menunjukkan harga serealia naik 17,9 persen, harga minyak nabati naik 13,9 persen, harga produk susu naik 19,6 persen, harga daging naik 10,4 persen, dan harga gula naik 4,7 persen.
Pada Desember 2022, Indeks Harga Pangan FAO memang turun 1,9 persen dibandingkan bulan sebelumnya, merupakan penurunan bulanan kesembilan berturut-turut. Namun, indeks tersebut meningkat begitu tajam selama bulan-bulan pertama tahun 2022 sehingga angkanya untuk keseluruhan 2022 jauh di atas rata-rata 2021.
Penurunan pada Desember tersebut sebagian besar disebabkan oleh penyesuaian pasar terhadap gangguan distribusi, harga transportasi yang lebih tinggi, dan tingkat permintaan yang lebih rendah akibat pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat.
"Penting untuk tetap waspada dan tetap berfokus untuk meredakan kerawanan pangan global mengingat harga pangan dunia masih melambung, dengan banyak bahan pokok mendekati rekor tertinggi, dan dengan harga beras yang meningkat, serta masih banyak risiko yang berkaitan dengan pasokan di masa depan," kata Kepala Ekonom FAO, Maximo Torero, dalam keterangan persnya.
FAO telah berulang kali memperingatkan bahwa kenaikan harga pangan mengancam ketahanan pangan global, khususnya di negara-negara miskin.
Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengingatkan pemerintah agar mewaspadai ancaman krisis pangan itu, terlebih karena banyak negara menerapkan kebijakan proteksionisme dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri daripada ekspor.
"Jadi, ada ancaman pasokan pangan dari luar. Pemerintah harus bisa menggenjot produksi dan mengendalikan stok dalam negeri agar harga bahan pangan tidak melonjak," tegasnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Pemulangan Warga Terus Dilakukan, Kemlu: 91 WNI yang Dievakuasi dari Suriah Tiba di Tanah Air
- Ribuan Mantan Anggota Jamaah Islamiyah Deklarasi Pembubaran di Solo
- Denny JA Rumuskan 6 Prinsip Emas Spiritualitas di Era AI
- Warga Diminta Waspada, Gunung Ibu di Halmahera Barat Sudah Dua Kali Erupsi
- Meningkat, KCIC Sebut 100 Ribu Tiket Whoosh Terjual Untuk Momen Natal dan Tahun Baru