Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Dunia Pendidikan Kembali Tercoreng

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tiga peristiwa mencoreng dunia pendidikan kita dalam dua minggu terakhir. Peristiwa pertama adalah aksi bullying siswa dan siswi berseragam SMP terhadap seorang siswi di kawasan Thamrin City, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi pada Jumat, (14/7) sekitar pukul 13.30 WIB di lantai 3A Thamrin City.

Dalam video yang berdurasi selama 50 detik itu terlihat sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi yang menggunakan seragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya. Siswi yang mengenakan seragam putih-putih itu tampak terpojok dikelilingi siswa dan siswi lainnya.

Sejumlah siswa-siswi yang menonton malah meminta agar siswi yang di-bully mencium tangan dua orang yang mem-bully-nya. Tak ada perlawanan yang dilakukan siswi berseragam putih itu.

Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Pusat Sujadi telah mengambil tindakan tegas terhadap sembilan siswa SD dan SMP yang terlibat perundungan atau bullying di Thamrin City itu. Mereka dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan ke orang tuanya. Selain mengeluarkan, Dinas Pendidikan mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang mereka miliki.

Peristiwa kedua adalah aksi bullying yang dilakukan mahasiswa semester dua Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi angkatan 2016, Kampus Universitas Gunadarma, Kelapa Dua, Depok, terhadap temannya yang berkebutuhan khusus. Dalam video yang beredar di masyarakat tersebut terlihat tas korban ditarik oleh seorang mahasiswa.

Korban pun berusaha untuk melepaskan diri hingga terhuyung. Akhirnya si korban berhasil lepas dan sempat melemparkan tong sampah kepada pelaku. Para mahasiswa lainnya yang melihat kejadian ini bukannya menolong malah ikut menonton sambil bertepuk tangan.

Peristiwa ketiga terjadi di Banyuwangi. Seorang siswa yang inisial NWA terpaksa mengundurkan diri dari SMP 3 Genteng Banyuwangi, karena menjadi korban diskriminasi. Ia memilih mengundurkan diri karena salah satu syarat untuk masuk ke sekolah negeri itu adalah menggunakan jilbab bagi seluruh pelajarnya. Sementara itu, NWA beragama non Islam.

Tiga peristiwa itu patut menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama untuk pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan. Aksi dorong yang dilakukan oleh seorang mahasiswa terhadap temannya yang berkebutuhan khusus di Kampus Universitas Gunadarma, tentu sangat membuat kita merasa sedih dan miris. Kejadian itu telah melukai hati para orang tua yang anaknya merupakan anak berkebutuhan khusus.

Sangat besar pengorbanan keluarga dan orang tua mereka terhadap anak-anaknya yang berkebutuhan khusus untuk dapat, bisa dan mau bersekolah. Sangat sulit mengantar anak berkebutuhan khusus sampai ke jenjang kuliah. Korban ini merupakan anak yang kuat karena sudah masuk ke jenjang kuliah.

Demikian juga dengan peristiwa yang dialami oleh NWA. Sikap kepala sekolah yang tidak menerima siswa yang tidak berjilbab di sekolah negeri itu jelas -jelas melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD 1945 menjamin semua WNI, baik perempuan, laki-laki atau anak-anak, dilindungi hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, kepala sekolah juga melanggar Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi oleh Presiden Joko Widodo. Setiap anak mempunyai hak sama, tanpa diskriminasi. Berhak bersekolah, bermain, berkreatif serta memenuhi tumbuh kembang mereka dan harus dilindungi dari tindak kekerasan.

Bupati Banyuwangi sudah menyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah daerah. Sebab, bagaimanapun sekolah negeri adalah lembaga di bawah pemerintah daerah. Anas berjanji tidak akan ada lagi kasus diskriminasi seperti yang dialami NWA. Berjilbab untuk pelajar muslim tentu tidak masalah, tapi tidak boleh dipaksakan kepada pelajar yang beragama selain Islam. Aturan sekolah tidak boleh mendiskriminasi, harus memberi ruang yang sama tanpa memandang perbedaan SARA.

Komentar

Komentar
()

Top