Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Infrastruktur Mesti Dibarengi Memacu Industrialisasi

Dukung Substitusi Impor agar RI Tak Jadi Target Pasar

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta mendukung penuh pengembangan substitusi impor melalui berbagai insentif, seperti perpajakan hingga kemudahan perizinan, sehingga mampu mengurangi kebergantungan pada impor khususnya pangan dan barang konsumen.

Jika tidak mampu meningkatkan produksi nasional untuk pengganti barang impor maka di tengah maraknya era perdagangan elektronik atau e-commerce seperti saat ini pun, Indonesia tetap hanya menjadi target pasar produk mancanegara.

Pengamat ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, pemerintah mesti punya tekad kuat mendukung industri substitusi impor.

Apalagi, dalam tren perekonomian yang mulai mengarah ke era digital ini, ironisnya, Indonesia tetap hanya menjadi negara target pasar. Sebab, lanjut dia, negara hanya fokus pada pembangunan sistem e-commerce, sedangkan produk yang ada di dalam ekonomi digital itu barang-barang impor semua.

"Kita hanya jadi trader dan konsumen saja sehingga nilai tambahnya sangat kecil. Dan, kebergantungan pada impor makin tinggi," papar Bhima, di Jakarta, Jumat (8/9).

Selain memberikan insentif, imbuh dia, pemerintah hendaknya memperbaiki infrastruktur dasar dan pendukung untuk kawasan ekonomi khusus.

Kemudian, sebaiknya pemerintah mulai melirik pelaku usaha dalam negeri yang ingin membangun pabrik atau industri substitusi impor ketimbang fokus menarik investor asing. "Saat ini masih belum banyak pelaku usaha dalam negeri membangun pabrik, karena fokusnya masih membangun infrastruktur.

Mereka juga kurang mendapatkana dorongan, seperti kredit murah," kata Bhima. Sebelumnya, pemerintah diminta mengubah secara fundamental strategi pembangunan guna mewujudkan kemandirian ekonomi, terutama untuk mengurangi kebergantungan yang tinggi pada utang, serta impor pangan dan barang konsumsi.

Oleh karena itu, Indonesia mesti segera mengembangkan sektor riil yang produktif dan berorientasi industri substitusi impor.

Dengan substitusi impor pangan, misalnya, paling tidak bisa dihemat devisa dari impor pangan yang mencapai 12 miliar dollar AS (sekitar 160 triliun rupiah) setahun.

Apalagi sebagian devisa negara itu berasal dari utang. "Impor pangan secara masif juga memiskinkan dan mematikan petani nasional karena terdesak oleh produk impor yang lebih murah akibat disubsidi pemerintah negara eksportir.

Ini mengakibatkan jumlah petani berkurang dan lahan pertanian makin sempit," ujar pengamat pertanian dari UPN Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat.

Pembenahan Logistik

Berkaitan dengan regulasi, Bhima mengatakan sebenarnya paket kebijakan ekonomi jilid 1-16 sudah cukup memiliki semangat mewujudkan substitusi impor. Namun, pemerintah diharapkan refocusing lagi terutama pada regulasi-regulasi yang berdampak besar.

"Misalnya pembenahan logistik, deregulasi, dan harga gas untuk industri kalau arahnya memang hilirisasi dan substitusi impor," kata dia. Bhima menilai pengembangan substitusi impor tidak terlepas dari unsur energi sebagai penopang utama mesin industri. Sayangnya, janji pemerintah untuk menurunkan harga gas hingga kini belum terwujud.

Bhima juga mengemukakan pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah belakangan ini seharusnya dibarengi dengan industrialisasi.

Sebab, dengan pasokan logistik yang semakin bagus lantaran infrastruktur lancar, namun industri nasional tidak siap, maka Indonesia justru akan digempur oleh barang-barang impor.

"Investasi asing yang membangun pabrik di Indonesia jumlahnya lebih sedikit dibandingkan membangun infrastruktur. Jadi, arahnya sudah jelas, pembangunan infrastruktur memang menampung barang-barang impor. Seperti pusat logistik berikat," ungkap dia.

Di sisi lain, kata Bhima, kebergantungan pada impor bahan baku dan modal juga cukup tinggi. Data Juli 2017, misalnya, impor bahan baku kenaikannya sekitar 40 persen dibandingkan bulan sebelumnya. "Ini cukup berisiko juga. Kita mengimpor bahan baku, tapi kita juga mengimpor barang konsumsi," tukas dia. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top