Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Duh! Negara Tetangga RI Disebut Akan Rehabilitasi Situs Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Seberbahaya Apa?

Foto : ABS CBN

Situs Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bataan (BNPP) Filipina.

A   A   A   Pengaturan Font

Presiden baru Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah menghidupkan kembali diskusi tentang proposal untuk merehabilitasi situs Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bataan (BNPP) Filipina belum menghasilkan listrik sejak selesai pada tahun 1984. Langkah itu di ambil di tengah krisis energi saat ini yang telah mendorong harga bahan bakar pembangkit listrik tradisional, batu bara dan gas alam ke rekor.

Pakar industri juga memprediksi Asia akan mendorong pembangunan reaktor nuklir baru mengingat kondisi pusat manufaktur dunia mencari pasokan listrik untuk menggantikan bahan bakar fosil sekaligus melengkapi energi terbarukan. Sebelumnya, baik pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan Badan Energi Internasional (IEA) telah mengatakan tenaga nuklir sangat penting bagi negara-negara untuk memenuhi tujuan Net Zero Emission dan memastikan keamanan energi, seiring lonjakan setelah Rusia memotong pasokan gas alam ke Eropa sejak perang Ukraina dimulai pada bulan Februari. Pada Juli lalu, IEA mengatakan kapasitas nuklir global perlu digandakan pada tahun 2050 untuk mencapai target Net Zero Emission.

"Jika harga bahan bakar fosil tetap tinggi untuk jangka waktu tiga hingga empat tahun, saya pikir itu akan cukup untuk meluncurkan zaman keemasan pengembangan nuklir terutama di Asia karena di situlah mereka paling sensitif terhadap harga dan karena paling membutuhkan," kata Alex Whitworth, kepala strategi penelitian energi dan energi terbarukan Asia di lembaga penelitian dan konsultasi global Wood Mackenzie.

Mengutip Reuters, selain Filipina, Jepang dan Korea Selatan juga dikabarkan telah mendorong rencana untuk memulai kembali pembangunan reaktor atau pembangkit baru untuk mengurangi kekurangan daya sekaligus mengurangi emisi.

Pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi solusi baru lantaran biayanya yang lebih murah. Whitworth menuturkan rata-rata biaya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir konvensional selama masa pakainya kurang dari setengah dari pembangkit berbahan bakar gas dengan harga saat ini, dan berada dalam kisaran yang sama dengan tenaga batu bara. Terlebih, teknologi baru seperti reaktor modular kecil (SMR) disebut lebih cepat dibangun dan lebih murah daripada unit konvensional.

Teknologi inilah yang tengah dilirik oleh Singapura, Filipina dan Jepang. Atas dasar tersebut, Whitworth optimis nuklir yang kini menyumbang sekitar 5 persen dari pasokan listrik Asia Pasifik, diperkirakan akan meningkat menjadi 8 persen pada tahun 2030 berdasarkan proyek-proyek yang telah diumumkan.

Namun, kebanngkitan nuklir harus menghadapi sejumlah rintangan, tingginya biaya awal pembangunan reaktor ditambah pembengkakan biaya akibat penundaan proyek selama pandemi Covid-19 telah mengganggu proyek. Di AS misalnya, dua reaktor di Plant Vogtle di Georgia dijadwalkan untuk dibuka pada 2023 setelah penundaan enam tahun mengakibatkan biaya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 30 miliar dolar AS.

"Pengeluaran biaya yang sangat besar dan penundaan yang lama tentu telah menimbulkan kekhawatiran bagi siapa saja yang ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas besar," kata Timothy Fox, seorang analis di kelompok riset ClearView Energy Partners.

Hambatan lain muncul dari kekhawatiran seputar pembuangan bahan bakar limbah dan masalah keamanan. Walaupun, energi nuklir bebas dari emisi CO2, ia tetapi menghasilkan limbah radioaktif. Pendukung energi nuklir seperti Prancis mengatakan nuklir sangat penting untuk memenuhi tujuan pengurangan emisi, sementara penentang menyebutkan kekhawatiran tentang pembuangan limbah. Luksemburg dan Austria misalnya. Keduanya menentang tenaga nuklir dan memperingatkan agar tidak memberi label sebagai energi hijau.

"Ini tidak kredibel, ambisius atau berbasis pengetahuan, membahayakan masa depan kita dan lebih dari tidak bertanggung jawab," ujar Menteri Iklim Austria Leonore Gewessler.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top