Dua Dekade ke Depan Tentukan RI Jadi Negara Maju atau Sangat Miskin
Aditya Hera Nurmoko Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta - Sumber dari semua ini adalah oligarki yang menggerogoti sistem kita. Mereka yang berutang, kita yang menanggung dampaknya.
Foto: Antara» Dua puluh tahun lagi penduduk muda saat ini akan menjadi tua dan tidak produktif, sehingga nasib RI di persimpangan yang kritis.
JAKARTA – Kebijakan pembangunan nasional dalam dua puluh tahun atau dua dekade ke depan akan sangat menentukan nasib bangsa. Indonesia dengan bonus demografi saat ini jika memanfaatkan secara benar dan optimal akan mengantar jadi negara maju. Sebaliknya, jika salah strategi, bonus tersebut akan berubah menjadi beban.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, di Jakarta, Minggu (10/11), mengatakan dua dekade mendatang bonus demografi berupa penduduk yang produktif itu akan berakhir seiring dengan penuaan populasi yang berpengaruh pada menurunnya produktivitas nasional.
Beban ekonomi akan meningkat tajam saat mayoritas penduduk beranjak tua dan bergantung pada sistem jaminan sosial. Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyatakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang seiring dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS menuntut Indonesia melakukan persiapan yang lebih baik.
Apalagi Trump menunjuk Robert Lighthizer sebagai perwakilan dagang AS atau USTR menjadi sinyal kalau tidak akan ada normalisasi hubungan dagang AS dan Tiongkok. Lighthizer selama ini dikenal sebagai arsitek utama perang dagang ASTiongkok, memfokuskan kebijakan proteksionis untuk melindungi industri dalam negeri AS.
AS berencana menahan laju impor dari Tiongkok dengan menaikkan tarif, sehingga produk-produk Tiongkok tidak akan murah lagi. Kesempatan itu akan dimanfaatkan AS membangun industri dalam negeri mereka yang kompetitif. Kendati produk-produk Tiongkok tidak akan semurah sekarang ini, namun produk-produk Indonesia, kata Aditya, tetap akan sulit bersaing meski upah buruh rendah. Hal itu karena biaya siluman yang sangat tinggi ditambah peraturan yang tidak jelas, sehingga sama sekali tidak menarik bagi investor untuk masuk ke Indonesia.
Apalagi banyak pejabat suka impor, karena mereka merasa lebih enak jadi pedagang ketimbang membangun industri. Menurut dia, RI kalau tidak membangun sendiri perekonomian terutama pertanian, maka mustahil untuk menjadi negara maju. Negara sekelas AS saja masih membutuhkan penguatan ekonomi dalam negeri, apalagi Indonesia. Kalau tidak punya kekuatan ekonomi, mana mungkin bisa bertahan. Indonesia dengan ada limpahan relokasi investasi saja sulit menarik industri dari Tiongkok.
Lebih lanjut, Aditya mengusulkan untuk menegeluarkan kebijakan otonomi khusus dalam membangun iklim investasi. Misalnya, ada satu daerah di Indonesia yang diberikan otonomi khusus dengan sistem pemerintahan seperti Singapura yang memiliki kepastian hukum dan birokrasi yang efisien, maka investasi diperkirakan akan mengalir deras. “Kalau kita punya sistem yang seperti itu, banyak diaspora akan balik dan berkontribusi. Tiongkok sudah menunjukkan keberhasilan mereka dengan memulai dari Shenzen, yang kini menjadi contoh bagi wilayah lainnya,” ungkapnya.
Indonesia, jelasnya, memang menghadapi tantangan besar dalam membangun ketahanan pangan dan teknologi. Kebergantungan pada impor pangan dan lemahnya riset teknologi membuat Indonesia rentan. Dengan utang luar negeri yang hampir mencapai 500 miliar dollar AS, Aditya menilai tanpa reformasi mendasar, Indonesia akan terus terpuruk.
“Sumber dari semua ini adalah oligarki yang menggerogoti sistem kita. Mereka yang berutang, kita yang menanggung dampaknya,” tegasnya. Industri nasional pada akhirnya banyak yang kolaps karena mereka lebih suka jadi calo. Kalau industri dasar saja kalah, maka bagaimana mau membangun industri teknologi tinggi yang butuh lebih banyak kerja keras. Menurut Aditya, RI perlu mengimplementasikan setidaknya delapan reformasi struktural, termasuk reformasi hukum agar dapat bersaing secara global.
“Jika kita tidak melakukan ini, maka saat masa tua generasi saat ini akan sengsara karena tidak ada jaminan sosial yang memadai. Dua puluh tahun ke depan adalah masa yang menentukan, apakah Indonesia bisa keluar dari kemiskinan atau terjerumus semakin dalam,” kata Aditya.
Peran Penting
Presiden, paparnya, sangat memegang peran penting dalam mengarahkan bangsa ini keluar dari krisis demografis dan ekonomi. Indonesia harus segera berbenah, terutama dengan ancaman stunting yang tinggi pada generasi muda saat ini, yang akan menjadi tantangan besar bagi daya saing bangsa di masa depan.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan Indonesia tidak akan bisa lari dari kekuatan teknologi AS, karena sumbernya mengakar dari perguruan tinggi dengan riset dan pengembangan di universitas. Indonesia tidak punya teknologi seperti itu. Apalagi bank-bank lebih memilih membiayai produk pangan impor, pinjol, bukan untuk yang produktif. Kondisi seperti itu terjadi karena bangsa ini tidak melek. Sedangkan jika diterapkan di luar negeri bisa berhasil karena sistem itu membangun mereka. Berbeda di Indonesia di mana brainware malah dimatikan.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Jonatan dan Sabar/Reza Tantang Unggulan Tuan Rumah di Semifinal China Masters 2024
- Christian Sugiono Bangun Luxury Glamping di Tepi Danau
- KKP Perkuat Kerja Sama Ekonomi Biru dengan Singapura
- Berkaus Hitam, Pasangan Dharma-Kun Kampanye Akbar di Lapangan Tabaci Kalideres, Jakarta Barat
- IBW 2024, Ajang Eksplorasi Teknologi Blockchain Kembali Digelar