DPR Bentuk Pokja Kejahatan Siber Antisipasi Hoaks Pilkada
Komisi III DPR RI akan membentuk pokja kejahatan siber untuk mengantisipasi kasus-kasus terutama terkait penyebaran hoaks saat gelaran Pilkada Serentak 2024.
Foto: ANTARA/Jessica WuysangJAKARTA - Komisi III DPR RI akan membentuk kelompok kerja (pokja) terkait dengan kejahatan siber untuk mengantisipasi kasus-kasus yang berkaitan dengan siber, salah satunya soal penyebaran berita bohong atau hoaks yang rawan muncul dalam pilkada.
Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah mengatakan bahwa Komisi III DPR RI juga mendorong bahwa hoaks bisa dikategorikan sebagai kejahatan siber. Pasalnya, hoaks itu merupakan hal yang berbahaya dan mampu menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
“Polarisasi yang terlalu ekstrem dari isu-isu yang tidak benar, akhirnya terjadi gesekan di masyarakat dan pembelahan lebih tajam,” kata Abdullah di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (8/11).
Ia mengungkapkan bahwa Komisi III DPR RI juga sudah melaksanakan kunjungan kerja spesifik ke sejumlah kepolisian daerah (polda) untuk mengecek kesiapan dalam mengamankan Pilkada 2024. Selain itu, Komisi III DPR RI juga memastikan agar kepolisian di daerah tetap menjunjung tinggi netralitas. “Pembentukan pokja khusus itu untuk mengantisipasi info-info hoaks di lapangan,” kata dia.
Menurut dia, sejauh ini fenomena hoaks yang kerap muncul tidak hanya terjadi di media sosial saja, seperti Tiktok, Instagram, atau X, tetapi juga bisa menyebar di aplikasi perpesanan, baik di grup percakapan maupun melalui percakapan pribadi.
“Itu ‘kan yang paling cepat menyebarnya, teman-teman dari sisi kepolisian yang punya instrumen langsung di bawah, itu sudah kita antisipasi terkait dengan bahaya hoaks di pilkada,” kata dia.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa berita hoaks atau misinformasi di media sosial menjadi ancaman tertinggi dalam Pilkada 2024.
Kapolri mengemukakan bahwa berita hoaks harus menjadi poin penting yang harus diantisipasi karena tidak semua masyarakat bisa membedakan informasi yang benar dan yang bohong.
“Ada satu tambahan yang mungkin juga harus rekan-rekan ikuti terkait dengan potensi kerawanan yang terjadi di media sosial. Kalau kita ikuti, ada 33 miliar interaksi media sosial yang mana 38 persen isinya positif, 23 persen netral, dan 29 persen negatif,” kata Listyo, Kamis (7/11).
Tatanan Demokrasi
Terpisah, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan pendidikan politik penting bagi masyarakat untuk menghindari polarisasi di Pilkada Serentak 2024 melalui isu SARA, ujaran kebencian, dan hoaks.
Masyarakat pun dapat mencari hal-hal yang benar dan baik dari pengetahuan dan informasi mengenai kandidat kepala daerah. “Namun ada catatannya, terdapat cara-cara tidak bertanggung jawab dalam kampanye pemilihan yaitu penggunaan politisasi SARA, ujaran kebencian, dan hoaks untuk saling menyerang pribadi pasangan calon. Tujuannya untuk mencari keuntungan di situasi yang kacau untuk menumbuhkan dan menurunkan partisipasi, keyakinan, pendukung pasangan calon lain,” kata Bagja dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurutnya, cara seperti itu jelas merusak tatanan demokrasi yang jujur dan adil, sebab dengan intensitas penggunaan media sosial saat ini, maka apabila tidak dicegah akan meningkatkan potensi polarisasi di tengah masyarakat.
“Ini terbukti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, bahkan hal tersebut mengancam keamanan dan disintegrasi kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Meski begitu, Bagja melihat pada Pemilu 2024, kerja sama antara Bawaslu, KPU, pemerintah dan masyarakat sipil seperti Cek Fakta, untuk menurunkan tensi dan politisasi SARA di media sosial, berhasil dilakukan.