Rabu, 15 Jan 2025, 01:15 WIB

Penguatan Dollar AS Bakal Meningkatkan Biaya Pendanaan di Ekonomi Pasar Berkembang

The International Monetary Fund (IMF)

Foto: antara

JAKARTA- Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 lebih stabil dibanding tahun lalu seiring dengan trend disinflasi atau perlambatan kenaikan harga. 

Ekonomi terbesar dunia yaitu Amerika Serikat (AS) menurut Managing Director IMF Kristalina Georgieva sedikit lebih baik dari yang diharapkan. Kendati demikian, Georgieve mengingatkan akan masih tingginya ketidakpastian terutama karena kebijakan perdagangan dari Pemerintahan Presiden terpilih AS, Donald Trump.

Kebijakan Trump dikhawatirkan menambah hambatan yang dihadapi ekonomi global dan mendorong suku bunga jangka panjang lebih tinggi.

“Dengan inflasi yang bergerak mendekati target Federal Reserve AS, dan data yang menunjukkan pasar tenaga kerja yang stabil, Fed dapat menunggu lebih banyak data sebelum melakukan pemotongan suku bunga lebih lanjut,” jelas Georgieva.

Secara keseluruhan, dia memperkirakan suku bunga global agak lebih tinggi' untuk beberapa waktu,” katanya.

Beberapa fokus Pemerintahan Trump kelak yakni mengenai tarif, pajak, deregulasi, dan efisiensi pemerintah. Hal itu akan menjadi sorotan global. Namun merespons perkembangan di AS, dia melihat adanya potensi ketidakpastian bagi sejumlah negara yang terintegrasi dengan rantai pasok global.

“Ketidakpastian ini khususnya tinggi di seputar jalur kebijakan perdagangan ke depannya, menambah hambatan yang dihadapi ekonomi global, khususnya bagi negara dan kawasan yang lebih terintegrasi dalam rantai pasokan global, ekonomi menengah dan kawasan Asia,” katanya.

Dalam ketidakpastian itu “sangat tidak biasa” diekspresikan dalam suku bunga jangka panjang (surat utang 10 tahun) yang lebih tinggi meskipun suku bunga jangka pendek (suku bunga bank sentral) telah turun. Hal itu menjadi sebuah tren yang tidak terlihat dalam sejarah terkini.

“Pertumbuhan diperkirakan akan sedikit terhenti di Uni Eropa dan sedikit melemah ' di India, sementara Brasil menghadapi inflasi yang lebih tinggi,” kata Georgieva.

IMF juga melihat tekanan deflasi dan tantangan berkelanjutan dari permintaan domestik untuk ekonomi Tiongkok. Sedangkan, negara-negara berpendapatan rendah, meskipun berupaya melakukan reformasi, namun tetap akan berada dalam posisi rentan, kalau ada guncangan baru apa pun akan berdampak “cukup negatif”.

Georgieva juga mengingatkan penguatan dollar AS berpotensi mengakibatkan biaya pendanaan yang lebih tinggi bagi ekonomi pasar berkembang dan terutama negara-negara berpendapatan rendah.

1736876040_e7c16b939056333a9dd7.jpg

Kebijakan Proteksionis

Menanggapi hal itu, pengamat Kebijakan Publik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi mengatakan kekhawatiran pada kebijakan perdagangan Trump sangat relevan.

“Kebijakan yang proteksionis seperti tarif impor tinggi dan renegosiasi perjanjian perdagangan, ini dapat memicu ketegangan perdagangan global, meningkatkan tekanan rantai pasok internasional, dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi negara negara berkembang seperti Indonesia,”tegas Badiul.

Kebijakan AS itu akan berimplikasi pada kondisi global, melalui saluran perdagangan, investasi, dan pasar finansial.

Oleh sebab itu, Pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis untuk melindungi dan memperkuat ekonomi domestik seperti memperbanyak dan memeperluas pasar ekspor ke negara negara lain khususnya Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Selain itu, juga perlu memperkuat perjanjian perdagangan dengan negara negara ASEAN, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan perjanjian bilateral lainnya.

Dia juga mengimbau BI melakukan penyesuaian kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga untuk meminimalisir arus modal ke luar dan menjaga inflasi tetap terkendali agar daya masyarakat tetap terjaga.

Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan, tren pelemahan rupiah sebenarnya telah terjadi sejak pertengahan tahun lalu sekitar lebaran dan terulang kembali pada pertengahan Desember.

“Kurs rupiah yang melemah di level 16.000 per dollar AS ini masih akan berlanjut karena sentimen pasar kepada Trump yang sangat agresif,” kata Dian.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: