Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengentasan Kemiskinan I Petani Sering Jadi Korban, Marjin Mereka Banyak Digerus Pedagang

Diversifikasi Pangan Lokal Cara Paling Ampuh Atasi Kemiskinan Lintas Generasi

Foto : Sumber: Kementerian Pertanian, BPS
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Keberagaman sumber pangan lokal yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air jika diolah dan dimanfaatkan secara optimal akan memberi keuntungan secara ekonomi kepada masyarakat. Dengan mendiversifikasi sektor pertanian diyakini sebagai cara paling ampuh untuk mengatasi kemiskinan lintas generasi.

Guru Besar Ilmu Teknologi Pemrosesan Bahan Pangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Lienda Aliwarga Handojo, mengatakan masyarakat harus dilatih dan dididik agar bisa mengolah sumber-sumber pangan lokal di wilayahnya menjadi produk bernilai tinggi.

"Di daerah produsen sagu, misalnya, masyarakat bisa dilatih menghasilkan produk lain selain tepung sagu, seperti mi yang gluten free," kata Lienda kepada Koran Jakarta, Kamis (13/6).

Selain sagu, tanaman jenis lain seperti cokelat juga bisa diolah. Masyarakat dapat dilatih untuk memfermentasi biji cokelatnya sebelum dijual karena harga jual biji cokelat terfermentasi jauh lebih tinggi dari pada yang tidak difermentasi.

Pilihan lainnya, kata Lienda, bisa dengan menaikkan produktivitas susu sapi perah dengan pemberian pakan yang baik. Saat ini, produktivitas sapi perah sangat rendah sehingga sebagian besar kebutuhan domestik harus ditutup oleh impor.

"Kerja sama dengan para pemangku kepentingan sangat penting. Perguruan tinggi dapat mendukung dari segi teknologi, pemerintah dari segi regulasi, dukungan dari lembaga keuangan untuk program pelatihan, kredit, dan akses ke market, agar produk yang dihasilkan dapat terserap pasar dan bergulir," terang Lienda.

Sebetulnya, papar Lienda, banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ekonomi, termasuk mengurangi food loss saat pascapanen di tingkat petani, yang menurut organisasi pangan dunia (FAO) bisa mencapai 40 persen.

"Kerugian ekonomi akibat food loss dan food waste di Indonesia sekitar 213-551 triliuh rupiah per tahun menurut data FAO, 2022. Dengan penanganan yang baik maka produk pascapanen tidak akan banyak yang rusak," katanya.

Pada kesempatan lain, peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengkritik keras pertumbuhan ekonomi saat ini yang lebih banyak ditopang sektor jasa terutama perdagangan, bukan produk pertanian yang memiliki nilai tambah.

Menurutnya, langkah paling tepat mengatasi masalah kemiskinan spasial yakni dengan memperkuat sektor pertanian perikanan dan perkebunan.

"Itu yang paling penting. Sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan berbasis rakyat harus direvitalisasi dengan penerapan inovasi teknologi dan kelembagaan di kalangan petani, nelayan dan pekebun," tegas Hafidz.

Peran koperasi, penyuluh pertanian, dan perikanan harus dimodernisasi dengan sistem analisis yang lebih canggih dan terkoneksi dengan big data pemerintah dan industri agar supply and demand-nya membaik dan kebijakan di sektor tersebut menjadi lebih rasional.

"Kalau tidak, maka terobosan apa pun akan sulit dilakukan. Petani dan nelayan selalu menjadi korban dari kebijakan pangan dan perikanan, dan pada akhirnya mereka mewariskan kemiskinan lintas generasi," pungkas Hafidz.

Teknologi Pangan

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, sepakat dengan pengembangan pangan lokal akan berkontribusi penting bagi pengentasan kemiskinan terutama di perdesaan. Masyarakat desa, kata Dwijono, akan ikut dalam rantai produksi pengembangan pangan lokal sehingga mendapat pemasukan lebih.

"Minimal sumber karbondioksida mereka pun jadi beragam, tidak tergantung pada beras dan gandum yang harganya terus naik," kata Dwijono.

Agar benar-benar berkembang, Dwijono menekankan pentingnya pangan lokal untuk bisa menyesuaikan dengan gaya hidup konsumen terbesar pangan saat ini yakni warga perkotaan. Untuk itu, diperlukan teknologi pangan yang mengolah bahan pangan lokal menjadi praktis dan bergengsi.

"Jadi bisa dibuat menjadi praktis dalam penyajian tanpa merusak rasa. Ini tentu sangat memerlukan teknologi pangan. Kuncinya menyesuaikan dengan lidah konsumen," tandas Dwijono.

Sementara itu, Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan untuk memutus mata rantai kemiskinan, pemerintah perlu memperkuat pertanian karena sektor ini menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat.

"Paling awal memperkuat pelaku utama, petani itu sendiri. Sering kali mereka menjadi korban subordinasi yang membuat keuntungan petani yang tidak seberapa, justru harus tergerus oleh pedagang perantara, tengkulak atau pengijon. Padahal, mereka tetap butuh modal," kata Bagong.

Dengan membantu permodalan petani, maka mereka tidak bargaining harga jual komoditas yang selama ini harus pasrah pada pihak-pihak tersebut. Hal itu tentu akan meningkatkan pembagian margin keuntungan yang lebih berpihak kepada petani lokal.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top