Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Disfungsi Peringatan Dini Tsunami

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Kejadian bencana tsunami di Selat Sunda yang menewaskan ratusan orang menyisakan kekecewaan publik terkait dengan tidak adanya peringatan dini. Sungguh ironis, kawasan pantai Selat Sunda merupakan rawan tsunami dan gelombang pasang, namun terjadi disfungsi peringatan dini.

Mitigasi bencana seperti benang kusut. Padahal bencana alam silih berganti. Sangat relevan penggalan bait lagu Ebiet G Ade, dosa siapa, ini dosa siapa, salah siapa ini salah siapa, jawabnya ada di relung hati.

Rentetan bencana tsunami belum juga menyadarkan bangsa kita terkait dengan mitigasi dan peringatan dini. Selain itu perlakuan terhadap wilayah pantai yakni sepadan pantai untuk kegiatan komersial dan pariwisata sudah sangat keterlaluan. Bibir pantai banyak didirikan bangunan untuk wisatawan. Pertunjukan dan pesta juga acapkali diselenggarakan di area sepadan pantai. Padahal sudah ada aturan yang melarang.

Tsunami yang datang tak terduga perlu diantisipasi secara teknologi dan sikap masyarakat yang tanggap dan disiplin. Tsunami (dibaca : soo-nam-ee) sejatinya bukanlah siluman pencabut nyawa yang datang tiba-tiba jika disiplin dan peradaban bangsa sudah tinggi.

Menurut katalog gempa sejak tahun 1629 kejadian tsunami yang sangat besar di wilayah NAD yakni 14 tahun yang lalu merupakan kejadian yang ke-110 kalinya yang pernah terjadi di Indonesia. Sedangkan tsunami yang terjadi di Selat Sunda baru-baru ini adalah kejadian yang ke-122. Berulangkalinya peristiwa tsunami mestinya menjadi proses pembelajaran, bukan justru terlena dan terlena lagi.

Sejatinya gelombang pasang itu memberikan pertanda awal sebelum datangnya bencana. Oleh sebab itu tsunami sudah merupakan bahan riset dan kajian ilmiah yang cukup lama. Juga sudah banyak komunitas dan lembaga ilmiah yang meneliti dan mengkaji seluk beluk tsunami. Selain itu sudah banyak juga metoda dan peralatan canggih untuk mendeteksi sejak dini pergerakan tsunami. Sehingga bagi negara-negara maju langganan tsunami seperti Jepang dan Amerika Serikat, terjangan tsunami bisa diantisipasi serta diminimalkan dampak negatifnya.

Bahkan sejak tahun 1965 telah dibentuk apa yang disebut International Tsunami Information Sytem (ITIC) dan International Group for the Tsunami Warning system ( ICG/ITSU) yang berpusat di Hawaii. Badan ini bertugas untuk memberikan peringatan, kewaspadaan, komunikasi, penyebarluasan pengetahuan mengenai tsunami, riset tsunami, memperluas jaringan keanggotaan dan sebagainya.

Sayangnya pemerintah atau lembaga terkait di Indonesia selalu terlambat dan kurang responsif menanggulangi dan mencegah secara dini datangnya bencana tsunami dengan alasan klasik tidak tersedianya dana. Padahal Indonesia termasuk wilayah potensial langganan tsunami. Kejadian Tsunami yang banyak memakan korban jiwa sebelum di Selat Sunda antara lain di Teluk Palu (2018), NAD (2004), Biak (1996 ), Banyuwangi ( 1994 ), dan Flores ( 1992 ).

Magnitudo tsunami yang terjadi di Indonesia pada umumnya berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai.

Berdasarkan katalog gempa di Indonesia penyebab tsunami antara lain akibat longsoran ( landslide ), akibat gunung berapi dan akibat gempa bumi tektonik.

Peringatan Dini

Salah satu cara untuk meminimalkan korban tsunami adalah dengan membangun sistem peringatan dini. Selama ini Tsunami Risk Evaluation Trough Seismic Moment a Real Time System (Tremors) yang dimiliki Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak tahun 2012 banyak yang tidak berfungsi secara optimal bahkan tidak dapat berfungsi.

Menurut pakar Geofisika dan Meteorologi dari ITB, Nanang T Puspito idealnya untuk tiap jarak 100 km di sepanjang pantai yang ada di kepulauan Indonesia sebaiknya diletakkan satu alat pemantau gempa dan gelombang. Namun ironisnya yang ada selama ini tidak lebih dari 50-an alat pemantau gempa dan 20-an alat pemantau utama gelombang. Kondisi alat itupun banyak yang rusak dan tidak terkalibrasi dengan baik. Hambatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih kurangnya koordinasi dan komunikasi di antara pusat-pusat kegiatan riset tsunami.

Secara teoritis tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa. Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai.

Kenyataan itulah yang mendasari didirikannya pusat sistem peringatan dini tsunami atau Tsunami Warning System dibeberapa negara Pasifik. Yang menjadi persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10 sampai 50 menit saja karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km.

Hal ini berbeda dengan di negara-negara Pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam. Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu wilayah pantai.

Bencana tsunami di Selat Sunda menimbulkan gugatan publik dan mempertanyakan cara kerja dan kondisi peralatan yang dimiliki oleh lembaga yang berkompeten seperti BMKG, BPPT, LIPI serta lembaga-lembaga ilmiah lainnya dan perguruan tinggi yang berhubungan dengan meteorologi dan geofisika. Sungguh ironis, Selat Sunda relatif dekat dengan Ibukota negara, kenapa masih bermasalah, bagaimana dengan wilayah yang jaraknya ribuan kilometer dari ibukota. Tentunya lebih mengkuatirkan.

Pembenahan Sistem Mitigasi

Inilah pertanyaan besar yang harus dicarikan solusinya guna menghadapi bencana tsunami dikemudian hari. Kata kunci dari solusi diatas adalah pembenahan sistem mitigasi kita. Sistem mitigasi dalam aspek luasnya, yang antara lain meliputi upaya meminimalkan dampak bencana tsunami membutuhkan sebuah manajemen yang sistematik. Baik secara nasional maupun tingkat daerah. Selain menyentuh aspek-aspek teknis, mitigasi juga mencakup aspek psikososial masyarakat dalam menghadapi dan pasca bencana alam.

Langkah teknis mitigasi antara lain berupa pembangunan instalasi sistem peringatan dini yang canggih sesuai dengan era 4.0 dalam sebuah jaringan nasional serta program reklamasi wilayah pantai yang bertitik berat kepada pembuatan hutan mangrove sebagai jalur hijau di sepanjang garis pantai yang rawan tsunami.

Peristiwa alam tsunami yang menerjang pesisir Selat Sunda telah menunjukan buruknya tata kelola wilayah pesisir. Dalam tata kelola wilayah pesisir banyak pihak yang melanggar aturan.

Penulis, alumnus Fisip

Universitas Jember

Komentar

Komentar
()

Top