Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

“Dieng Culture Festival" Kemeriahan Pesta Budaya Dataran Tinggi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Setelah sempat absen selama dua tahun karena pandemi Covid-19,Dieng Culture Festival(DCF) akan digelar kembali. Seperti biasa DCF 2022 diadakan di Desa Wisata Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Tahun ini DCF 2022 akan diselenggarakan antara 1-4 September dengan mengusung temaReturn of the Lightyang artinya Kembalinya Sang Cahaya.

Wisatawan yang ingin dapat perlu mempersiapkan diri seperti pemesanan penginapan dan tiket. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, acara akan dihadiri oleh ribuan wisatawan dari seluruh Indonesia dan mancanegara.

Pada DCF 2019 yang digelar 2-4 Agustus misalnya, menurut data panitia festival, acara didatangi oleh 177 ribu orang dengan 930 wisatawan asing. Jumlah ini lebih banyak dari DCF 2018 sebanyak 156.000 orang dengan 1.100 wisatawan asing.

DCF 2022 akan mengadakan beberapa acara seperti Dieng Bersih Lestari, Festival Produk Unggulan, Festival Kopi dan Seminar, Pagelaran Seni Tradisi, Festival Caping, Pagelaran Sendra Tari Anak Gimbal, Kirab Budaya, Pencukuran Rambut Anak Gimbal, Harmony Atas Awan, Jazz Atas Awan, Pesta Lampion, Pesta Kembang Api, dan Kongkow Budaya.

Melihat dari berbagai acara yang digelar, DCF telah berkembang sedemikian rupa. Dalam sejarahnya menurut lamanVisit Banjarnegara, DCF dimulai dari gagasan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa. Kelompok ini berupaya menggabungkan konsep budaya dan wahana wisata alam, dengan misi pemberdayaan ekonomi masyarakat Dieng.

DCF pertama kali diselenggarakan pada 2010 atas kerja sama dari Equator Sinergi Indonesia, Pokdarwis Dieng Pandawa dan Dieng Ecotourism. Namun sebenarnya, sebelum gelaran bertajuk DCF, acara yang diadakan bernama Pekan Budaya Dieng yang diadakan oleh masyarakat dan pemuda Dieng Kulon.

Ketika memasuki tahun ketiga Pekan Budaya, masyarakat berinisiatif membuat kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan mengubah nama event menjadi DCF agar lebih dikenal luas hingga luar negeri. Pokdarwis memandang pentingnya pariwisata terhadap ekonomi warga.

DCF sebagaimana namanya merupakan festival budaya dengan konsep sinergi antara unsur budaya masyarakat, potensi wisata alam Dieng serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai misi dasar pembentukan acara tersebut. Acara ini digagas Pokdarwis dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan organisasi/dinas terkait kepariwisataan di Dieng.

Acara "Ruwatan"

Acara inti dari DCF adalah acara ruwatan pemotongan rambut gembel sekaligus sebagai puncak acara. Ruwatan merupakan prosesi penyucian yang sudah sangat lekat dengan kebudayaan dan adat di Jawa. Rambut gimbal yang dalam bahasa Jawa disebutgembel, menjadi upacara inti dari festival ini.

Ruwatan bocah rambut gimbal itu kurang lebih memiliki maksud yang sama, yakni suatu upacara atau ritual yang bertujuan untuk mengusir nasib buruk atau kesialan baik pada si bocah maupun masyarakat Dieng pada umumnya.

Bocah berambut gimbal sendiri merupakan sebuah fenomena unik yang sudah ada di Dieng sedari dahulu kala. Di sini selalu ada anak yang berusia antara 40 hari hingga 6 tahun tumbuh rambut gimbal di kepalanya secara alami.

Masyarakat Dataran Tinggi Dieng percaya bahwa anak-anak berambut gimbal tersebut merupakan titipan dari Kyai Kolo Dete. Tokoh itu merupakan salah seorang pejabat atau punggawa di masa Mataram Islam sekitar abad ke empat belas. Kyai Kolo Dete ditugaskan untuk mempersiapkan pemerintahan di wilayah Dataran Tinggi Dieng.

Tiba di tempat itu Kyai Kolo Dete dan istrinya (Nini Roro Rence) mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan. Pasangan ini ditugaskan membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Tolak ukur sejahteranya masyarakat Dieng akan ditandai dengan keberadaan anak-anak berambutgembel. Sejak itulah, muncul anak-anak berambut gimbal di kawasan itu.

Masyarakat Dataran Tinggi Dieng percaya, jumlah anak berambut gimbal berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Semakin banyak jumlah anak berambut gimbal, masyarakat Dieng yakin kesejahteraan mereka akan semakin baik. Demikian juga sebaliknya.

Munculnya rambut gimbal pada seorang anak akan ditandai dengan panas tubuh yang tinggi selama beberapa hari. Suhu tubuh anak tersebut akan normal dengan sendirinya pada pagi hari, bersamaan dengan munculnya rambut gimbal di kepala sang anak.

Dalam kehidupan sehari-hari, seorang anak berambut gimbal tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka bermain bersama dengan anak-anak lain. Namun anehnya anak berambut gimbal biasanya cenderung lebih aktif dibanding anak-anak lain.

Pada saat-saat tertentu, emosi anak berambut gimbal bisa tidak terkendali tanpa sebab yang jelas. Kecenderungan ini akan berkurang bahkan menghilang setelah rambutnya yang menyatu itu dipotong.

Sebelum acara pemotongan rambut, akan dilakukan ritual doa di beberapa tempat, diantaranya adalah Candi Dwarawati, Komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatotkaca, Telaga Balaikambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Gua di Telaga Warna, Kali Pepek dan tempat pemakaman Dieng. Keesokan harinya baru dilakukan kirab menuju tempat pencukuran.

Selama berkeliling desa, anak-anak rambut gimbal ini dikawal para sesepuh, tokoh masyarakat, kelompok paguyuban seni tradisional, serta masyarakat. Setelah pencukuran diadakan upacaraLarungyang dalam bahasa Indonesia berarti hanyut, berupa menghanyutkan rambut anak-anak gimbal. Filosofi dari ritual ini adalah untuk membuang segala petaka yang ada dalam diri peserta ruwatan.

Rambut gimbal merupakan salah satu inti sekaligus keunikan dari DCF. Keunikan lainnya suhu Dieng ketika DCF berlangsung berada ada kondisi sangat dingin, yang membuat pengunjung seakan berada di negara empat musim. Diperkaya dengan ragam acara lain dan dikemas secara profesional festival ini menjadi semakin menarik.

Yang menarik lagi pada DCF momen ini ketika langit cerah, biasanya munculnya fenomenaBun Upas. FenomenaBun Upasdari kata embun dan racun, muncul ketika suhu mencapai dibawah nol derajat.

Suhu rendah menjadikan tanaman kentang sebagai komoditas pertanian andalan banyak yang mati. Namun bagi pengunjung acaraBun Upassangat dinanti, karena mereka bisa melihat salju beku di atas rerumputan dan tanaman sayuran. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top