Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 01 Feb 2020, 01:00 WIB

Desa Penglipuran dengan Tradisi Kuat

Foto: ist

Dalam beberapa tahun terakhir, industri pariwisata di Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat. Salah satunya ditandai dengan tren desa wisata yang semakin diminati oleh para wisatawan.

Secara umum, desa wisata adalah bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Kemunculan desa wisata tidak lepas dari ceruk pasar wisatawan minat khusus, yakni wisatawan yang lebih tertarik untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal yang memiliki kekhasan, dan kembali ke alam. Sehingga menjadi model pariwisata baru yang dikenal dengan pariwisata minat khusus atau "Special Interest Tourism".

Bagi yang tertarik dengan tren ini, salah satu desa wisata yang populer dan bahkan telah mendapat pengakuan dunia adalah Desa Penglipuran. Bersama Desa Pemuteran (Bali), Desa Nglanggeran (Yogyakarta), dan Desa Pentingsari (Yogyakarta), Desa Penglipuran yang berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali ini, berhasil masuk 100 besar Destinasi Berkelanjutan Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD).

Keempat desa wisata tersebut mampu bersaing di level internasional karena mampu mempertahankan sisi tradisional dan kelestarian lingkungan, sesuai standar internasional, mencakup konservasi lingkungan, pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, dan sosial-budaya.

Meski masyarakat adat telah mengenal sentuhan budaya modern, namun suasana asli sesuai tradisi leluhur tetap melekat di kehidupan seharihari. Desa Penglipuran berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.

Tepatnya sekitar 44 kilometer dari pusat Kota Denpasar dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan.

Tak hanya masyarakat desa yang masih menjalankan dan melestarikan budaya tradisional Bali di kehidupan mereka sehari-hari, kawasan ini juga terkenal dengan arsitektur rumah-rumah dan bangunan yang masih mempertahankan desain khas adat. Selain itu, pengolahan lahan yang ada juga masih mengikuti konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat Bali mengenai keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia ,dan lingkungannya. Setidaknya terdapat 77 pekarangan di desa ini dengan semua bangunan yang seragam bentuknya.

Setiap pekarangan terdiri dari dua rumah adat, dapur tradisional dan balai sakenem serta tempat ibadah bernama Sanggahan. Selain itu, setiap pekarangan wajib memiliki tiga bangunan tradisi yaitu angkul-angkul atau gerbang, balai tradisional dan Balai Sakenem sebagai tempat upacara.

Hampir semua rumah menggunakan bahan dari bambu, batu padas dan kayu. Setiap kali ada perbaikan karena kerusakan, pemilik rumah akan mendapat dana subsidi dari desa adat. Pengunjung yang baru tiba di desa seluasi 112 hektar ini akan disambut dengan hawa sejuk yang menyegarkan.

Suasana asri dan suhu udara yang berkisar antara 16 sampai 25 derajat celcius menghadirkan sensasi tenang bagi setiap wisatawan yang datang. Selain karena berada di ketinggian 500- 600 meter di atas permukaan laut, kendaraan tidak diperkenankan berlalu-lalang di jalan utama desa yang ditata rapi menggunakan batu-batu sungai berukuran kecil, sehingga udara benar-benar bebas dari polusi.

Serunya lagi, pengunjung bebas keluar masuk ke setiap rumah untuk melihat-lihat keunikan bentuk rumah adat, mengambil gambar, atau sekedar mengobrol dengan warga yang sedang beraktivitas.

Sementara warga tetap menjalankan kegiatan sehari-hari seperti berdagang, memasak, atau bercocok tanam tanpa merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan.

Hampir seluruh rumah menyediakan aneka cenderamata maupun makanan minuman yang dapat dibeli dengan harga relatif terjangkau, seperti kopi Bali, pakaian, atau tas.

Budaya gotong royong warga juga melekat dalam kegiatan ekonomi ini. Setiap 5 ribu rupiah dari penjualan cenderamata harus disumbangkan ke kas desa yang kelak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan bersama.

Bambu menjadi ciri khas dari rumah warga yang bentuknya seragam itu. Mulai dari pawon (dapur), Bale Sakenem, bangunan untuk upacara agama khusus keluarga, dan Bale Banjar (balai desa) mengandung unsur bambu.

Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan pada rumah warga tak lepas dari keberadaan hutan bambu yang berada di tepi desa. Warga percaya bahwa hutan tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan di tanam oleh pendahulu mereka.

Oleh sebab itu bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka. Sebagai desa yang berwawasan lingkungan, sesuai kesepakatan bersama, hutan bambu seluas 45 hektar tersebut tidak boleh dialih fungsikan maupun dijual kepada pihak luar demi menjaga segi ekologi, ekonomi, historis, religi dan heroik.

Bambu dari Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu bambu terbaik yang terdapat di Bali. Terdiri dari 15 spesies bambu yang seluruhnya berstatus milik desa.

Sebagian dari hutan tersebut dikelola langsung dibawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukan untuk pemeliharaan bangunan pura) sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa penduduk dengan status hak pakai.

Untuk pengunjung yang ingin menikmati sensasi damai dan tenang lebih lama, dapat bermalam di beberapa rumah warga yang memang difungsikan sebagai penginapan.

Jika waktu makan tiba tak perlu bingung mencari warung atau restoran, karena hampir di setiap rumah juga menjual makanan. Saat malam tiba, jalan-jalan di jalur utama desa yang terusun mendaki dengan Pura Panglipuran di ujungnya menghadirkan sensasi tersendiri.

Nikmati pemandangan ujung gerbang pura menjulang ke langit gelap kebiruan, yang bersih tanpa polusi dengan bintang-bintang di sekililingnya.

Monogami

Keunikan lain dari budaya dan adat yang masih dipegang teguh warga adalah tradisi monogami. Warga desa ini dilarang mempunyai lebih dari satu istri. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri maka ia dan istri-istrinya harus pindah dari rumahnya, tempat yang dinamakan Karang Memadu.

Karang Memadu yang terletak di sisi kiri jalan masuk desa ini adalah tempat yang dibangun untuk dihuni oleh warga yang melanggar pantangan adat dengan berpoligami atau poliandri.

Sesepuh adat Desa Panglipuran, I Nengah Muneng, menerangkan, selain harus pindah, hak dan kewajiban sebagai warga Desa Adat Penglipuran pelanggar juga akan dicabut.

Mereka juga tidak boleh melewati jalan desa atau memasuki Pura, dan mengikuti kegiatan adat."Tapi aturan ini tidak berlaku bagi warga yang telah keluar dari desa," tuturnya.

Selain itu, perkawinan dan jalinan garis keturunan bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah sesuatu yang sangat ditaati oleh seluruh warga.

Mayoritas penduduk Desa Adat Penglipuran melakukan pernikahan dengan sesama warga desa. Oleh sebab itu sebagian besar penduduk masih terikat hubungan darah antara satu sama lain.

Jika terdapat laki-laki dari Desa Adat Penglipuran yang menikahi gadis dari keluarga di luar warga Penglipuran maka ia tetap harus melakukan kewajiban yang dimilikinya sebagai warga Desa Adat Penglipuran.

Desa Penglipuran diyakini mulai dihuni pada zaman pemerintahan I Dewa Gede Putu Tangkeban III. Hampir seluruh warga desa percaya bahwa mereka berasal dari Desa Bayung Gede.

Dahulu orang Bayung Gede adalah orang-orang yang ahli dalam kegiatan agama, adat dan pertahanan. Karena kemampuan itu, orang-orang Bayung Gede sering dipanggil ke Kerajaan Bangli.

Namun karena jaraknya yang cukup jauh, Kerajaan Bangli akhirnya memberikan daerah sementara kepada orang Bayung Gede untuk beristirahat. Tempat beristirahat ini sering disebut sebagai Kubu Bayung.

Tempat inilah kemudian yang dipercaya sebagai desa yang mereka tempati sekarang. Sedangkan mengenai asal mulai kata Desa Penglipuran, terdapat dua pendapat yang diyakini oleh warga, pertama Penglipuran berarti "pengeling pura" yang berarti ingat dengan pura atau tempat leluhur.

Persepsi kedua mengatakan bahwa penglipuran berasal dari kata "pelipur" yang berarti hibur dan "lipur" yang berarti tempat untuk menghilangkan kesedihan SB/ R-2

Wisatawan Tiongkok dan Pariwisata Bali

Di tengah merebaknya isu mengenai penyebaran virus Corona dari daratan Tiongkok, pegiat pariwisata Bali dengan cepat memberi respon yang antisipatif.

Tiongkok adalah negeri penyumbang wisatawan terbesar ke Bali, setidaknya sejak 3 hingga 4 tahun terakhir. Larangan bepergian dari pemerintah Tiongkok bagi warga negaranya akan memberi dampak yang cukup besar bagi pariwisata Bali.

"Kami sangat berempati pada tragedi kesehatan yang sedang terjadi di Tiongkok, khususnya di Kota Wuhan yang telah merebak ke sejumlah kota dan negara lain," kata I Ketut Mardjana, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) cabang Bangli pada Selasa (28/1).

"Meski kami ikut prihatin atas isu dunia ini, namun sebagai pegiat pariwisata kami juga menghimbau masyarakat agar tidak over reacted terhadap isu ini," tambah Ketut Mardjana kepada wartawan di wilayah Senayan, Jakarta. Menjelang Tahun Baru Imlek 2020, kedatangan wisatawan Tiongkok ke Bali masih terbilang stabil.

Berdasar data terbaru dari Badan Pusat Statistik, wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Pulau Dewata mencapai 1.363.170 orang sepanjang tahun 2018. Sementara di tahun 2019 jumlahnya mencapai 1.105.038 orang, terhitung sejak Januari hingga November.

Stabilitas kunjungan tamu terbesar ke Bali ini diperkirakan akan menurun drastis akibat bencana kesehatan yang tak terduga ini. Isu virus Corona yang menjadi berita dunia sejak 20 Januari 2020 diperkirakan akan sangat mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok ke Bali.

"Sampai hari ini belum ada rilis angka pastinya, karena berita tentang wabah ini baru menyebar sekitar seminggu yang lalu, sehingga perlu waktu untuk mendapat data akurat penurunan jumlah wisatawan Tiongkok ke Bali," ujar Ketut Mardjana yang juga pemilik Toya Devasya, sebuah destinasi wisata air panas di tepi Danau Batur, Kintamani. "Kalau merujuk pada kunjungan wisatawan ke Toya Devasya, memang sudah terlihat penurunannya.

Biasanya, dalam 1 hari jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok mencapai 500 orang. Sementara data hari ini [28/01] menunjukkan angka 395 orang, atau sekitar 20 persen menurun, dan saya khawatir jumlahnya akan terus mengecil seiring membesarnya isu virus Corona ini," lanjut Ketut Mardjana.

Meski begitu, mewakili industri pariwisata Bangli, I Ketut Mardjana mengatakan bahwa Bali optimis tetap bisa menjalankan roda pariwisata di tengah kejadian force majeure tersebut.

"Saya hari ini telah menerima surat edaran dari Kemenparekraf yang memberi arahan agar pegiat pariwisata mengambil langkahlangkah preventif, termasuk menghentikan sementara kegiatan wisata outbond ke Tiongkok dan inbound dari Tiongkok ke Indonesia," ujarnya.

Sesuai arahan Kemenparekraf, Ketut setuju bahwa promosi pariwisata Bali bisa dialihkan ke negara-negara yang tidak terlalu terkena dampak, seperti Amerika Serikat, Eropa, Selandia Baru dan Australia.

Namun, menurut Ketut, selain itu juga perlu ditingkatkan potensi wisatawan domestik. "Di saat seperti ini, justru market wisatawan domestik menjadi sangat penting.

Karena itu saya himbau pemerintah agar dapat mendukung iklim kunjungan wisatawan dalam negeri melalui sejumlah regulasi, di antaranya meninjau ulang kebijakan harga tiket pesawat dan tiket-tiket retribusi pariwisata daerah yang hanya memberatkan wisatawan saja," ujar Ketut Mardjana yang sebelumnya telah lama berkiprah di sejumlah Badan Usaha Milik Negara.

Bersama para stakeholder pariwisata Bali, Ketut Mardjana selaku Ketua PHRI Bangli akan terus memantau perkembangan terkini mengenai dampak virus Corona terhadap kunjungan wisatawan Tiongkok ke Bali. asc/R-2

Redaktur:

Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.