Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Demi Kurangi Emisi, Uni Eropa Setuju Ulat dan Jangkrik Dikonsumsi

Foto : DW/AFLO/imago images
A   A   A   Pengaturan Font

BRUSSELS - Larva ulat bambu yang mirip belatung, sejenis kumbang hitam mengkilap dan jangkrik rumah, akan ditetapkan menjadi serangga ketiga dan keempat yang dapat dijual sebagai makanan bagi orang-orang di Uni Eropa (UE). Delapan pengajuan ini saat ini sedang menunggu persetujuan.

Pada Selasa (24/1) lalu, UE memberikan lampu hijau untuk penjualan larva dalam bentuk bubuk, beku, pasta, dan kering. Jangkrik dapat dijual sebagai bubuk yang dihilangkan sebagian lemaknya.

Bagi banyak orang Eropa, gagasan memakan makhluk yang menggeliat atau merangkak dalam bentuk apa pun tidak terlalu menarik. Tetapi serangga, yang dianggap lezat di restoran kelas atas di seluruh dunia, adalah bagian makanan yang normal dan sehat di negara-negara mulai dari Meksiko hingga Thailand.

Produksi daging dan produk susu menyumbang sekitar seperempat dari pemanasan global. Sapi dan domba menyemburkan metana, gas rumah kaca yang kuat tetapi berumur pendek. Petani membabat hutan untuk membuat padang rumput dan menanam kedelai, yang tiga perempatnya digunakan untuk pakan ternak.

Jika jangkrik goreng dan salad ulat bambu akan menjadi pengganti steak dan hamburger, maka aka nada peranan kecil dalam menghentikan kepunahan spesies dan membatasi perubahan iklim.

"Ini tantangan yang sangat besar untuk mengatasi meningkatnya permintaan produk peternakan," kata Tim Searchinger, direktur teknis program pangan di World Resources Institute, sebuah organisasi penelitian lingkungan AS. "Kami harus mencari solusi," imbuh Searchinger.

Keputusan Komisi Eropa untuk menyetujui dua serangga baru sebagai makanan, tampaknya bukan bagian dari dorongan untuk mengubah pola makan. Meskipun dikatakan bahwa konsumsi serangga berkontribusi positif terhadap lingkungan dan kesehatan serta mata pencaharian.

Sebaliknya, aturan baru mengklarifikasi bahwa larva ulat bambu dan jangkrik rumahan aman dikonsumsi bagi mereka yang tidak alergi. Mereka juga memutuskan bahwa makanan yang mengandung serangga harus diberi label.

"Tidak ada yang akan dipaksa makan serangga," kata Komisi Eropa dalam sebuah cuitan di media sosial pekan lalu.

Namun, langkah tersebut dapat mempercepat peralihan ke pola makan yang tidak terlalu merusak lingkungan.

Di Jerman, misalnya, sekitar separuh populasi berencana untuk makan lebih sedikit daging, sementara di Amerika Serikat, orang makan lebih banyak daging tetapi mengganti daging sapi dengan daging yang tidak terlalu mencemari seperti ayam. Protein serangga dapat memberikan alternatif yang murah, terutama dalam makanan olahan.

Antara 35 persen dan 60 persen dari berat kering serangga terdiri dari protein. Bagian ujung bawah lebih besar dari kebanyakan sumber protein nabati dan ujung atas lebih tinggi dari daging dan telur. Serangga lebih baik daripada hewan ternak dalam mengubah kalori. Mereka juga berkembang biak dengan cepat dan menambah berat badan dengan cepat.

Hanya segelintir penelitian yang mencoba mengatasi kerusakan lingkungan akibat memakan serangga. Penilaian siklus hidup yang diterbitkan pada tahun 2021 menemukan bahwa protein dari ulat bambu menggunakan 70 persen lebih sedikit lahan dan memompa 23 persen lebih sedikit gas rumah kaca ke atmosfer daripada mendapatkan jumlah protein yang sama dari ayam broiler.

Studi sebelumnya juga menemukan serangga lebih baik untuk lingkungan daripada daging tetapi lebih buruk daripada tumbuhan.

Rasa Jijik Jadi Keraguan Terbesar

Namun, meyakinkan orang di UE dan AS untuk makan lebih banyak serangga bisa jadi rumit.

Tiga perempat konsumen Eropa tidak mau menukar daging dengan serangga dan 13 persen lainnya tidak yakin, menurut laporan tahun 2020 dari Organisasi Konsumen Eropa. Di Jerman, 80 persen orang mengatakan bahwa mereka muak dengan gagasan memakan serangga, menurut laporan tahun 2022 dari badan lingkungan Jerman, UBA.

"Rasa jijik dinilai sebagai rintangan terbesar untuk masuknya serangga ke pasar makanan Barat," tulis para penulis.

Sebuah studi yang diterbitkan pada Desember lalu menemukan orang lebih mau makan serangga setelah diberitahu tentang manfaat lingkungan.

Sebuah studi terpisah pada tahun 2020 menunjukkan norma sosial mengubah cara orang terbuka untuk memakan belalang.

"Karena manusia adalah spesies yang sangat sosial, memanfaatkan sifat sosial mungkin terbukti sangat berguna," tulis para penulis. DW/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top