Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Harga Beras Sudah Melonjak Tinggi Melampaui HET

Delapan Bulan Terakhir Harga Beras Melonjak 8 Persen

Foto : ISTIMEWA

DWIJONO HADI DARWANTO Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta - Saya sudah berulangkali ingatkan, irigasi kita rusak hampir merata sampai 60 persen. Kita tidak bisa mengharapkan impor di tengah perubahan iklim. Mesti benahi irigasi dan pembibitan.

A   A   A   Pengaturan Font

» Ada peralihan konsumsi dari nonberas ke beras karena dampak El Nino, terutama di Indonesia Timur.

» El Nino menyebabkan luasan panen berkurang, mendorong produksi beras turun dan akhirnya yang berlaku adalah hukum supply and demand.

JAKARTA - Harga beras di pasaran sudah melonjak tinggi melampui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional. Data panel harga pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) rata-rata harga beras kualitas medium di pedagang eceran secara nasional per posisi Rabu (6/9) telah tembus 12.550 rupiah per kilogram.

Padahal, pemerintah menetapkan HET beras medium dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No 7/2023 hanya di kisaran 10.900-11.800 rupiah per kilogram tergantung wilayah.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan harga beras eceran pada Agustus 2023 mencapai 1,43 persen (month to month) dan naik 13,76 persen (year on year). Adapun selama 8 bulan terakhir sejak Januari 2023, harga beras mengalami inflasi 7,99 persen (ytd).

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan tidak mengherankan jika harga beras di pasar pada masa sekarang naik tinggi. Sebab, El Nino membuat produksi beras Tanah Air tertekan di mana puncaknya terjadi pada Agustus-September.

"Tapi menurut Bapanas, kita punya stok beras impor 1,6 juta ton dan masih ada lagi 400 ribu ton yang masih dalam perjalanan. Distribusi stoknya harus dipercepat. Yang terpenting produksi beras pasca-El Nino nanti kita bisa meningkat," papar Dwijono.

Dari data konsumsi beras, yang menarik dicermati adalah peningkatan konsumsi beras. Dwijono menduga ada peralihan konsumsi dari nonberas ke beras karena dampak El Nino. Indonesia Timur yang biasa konsumsi sagu karena sagu di hutan tidak panen maka saat ini mereka mengonsumsi beras.

Menurut Dwijono, yang terpenting adalah justru terus mencermati data produksi pangan nasional, baik beras maupun nonberas. Beras di Jawa produksinya harus meningkat di tahun depan. Dan hal itu memerlukan perbaikan irigasi yang sangat intensif.

"Saya sudah berulangkali ingatkan, irigasi kita rusak hampir merata sampai 60 persen. Kita tidak bisa mengharapkan impor di tengah perubahan iklim. Mesti benahi irigasi dan pembibitan," tandas Dwijono.

Merasakan Keuntungan

Sementara itu, pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan petani harus diberi kesempatan merasakan keuntungan yang layak dari situasi kenaikan harga beras. Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menerapkan kebijakan HET Terkoreksi.

El Nino menyebabkan luasan panen berkurang, mendorong produksi beras turun. Akhirnya yang berlaku adalah hukum supply and demand, permintaan lebih tinggi dari persediaan barang. Maka wajar jika dalam kondisi hukum pasar perilaku seperti ini petani menuntut HET ditiadakan, karena mereka juga ingin merasakan keuntungan, sama dengan jenis bisnis perdagangan lainnya.

Sesungguhnya, kebijakan HET adalah fungsi pemerintah dan BI dalam menekan inflasi. Maka sebaiknya dengan kondisi sekarang ini Badan Pangan Nasional merekomendasikan kebijakan "Floating HET" atau HET Terkoreksi, agar petani bisa merasakan hasil kerja keras sekaligus konsumen terlindungi dari kenaikan yang berlebihan, tiap bulan pemerintah dapat mengoreksi HET sesuai perkembangan.

Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan tidak sepakat dengan HET dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang berlaku saat ini.

Dia lebih setuju penyesuaian ulang terhadap Harga Pembelian Pemberintah (HPP) maupun HET.

"Itu harus memperhitungkan biaya produksi petani, biaya operasional proses, dan jasa distribusi," tegas Qomar.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top