Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 11 Okt 2024, 00:05 WIB

Deflasi Pangan Sangat Merugikan Petani

Deflasi ancam kesejahteraan petani - Petani memanen padi di Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, belum lama ini. Deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir mengancam kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional.

Foto: ANTARA/Sulthony Hasanuddin

JAKARTA - Pemerintah perlu mengendalikan deflasi agar harga sejumlah komoditas khususnya pangan tidak cenderung turun seperti yang terjadi dalam lima bulan terakhir.

Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Abdul Aziz Ahmad, mengatakan selama ini praktik yang sering dilakukan adalah bagaimana mengatasi kenaikan harga, bukan mengatasi penurunan harga.

"Ini yang belum menjadi concern pemerintah walau fenomena ini sudah terjadi dalam periode yang agak lama," katanya di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (10/10).

Menurut dia, konsep inflasi maupun deflasi itu kondisi umum karena hal itu rata- rata dari semua komoditas seluruh produk.

Inflasi merupakan perkembangan harga yang cenderung meningkat dan hal itu dibutuhkan dalam perekonomian karena akan mendorong kinerja produsen untuk meningkatkan produksi.

Sebaliknya, deflasi justru melemahkan perekonomian karena menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat karena produk-produk sudah dianggap tidak menarik oleh masyarakat.

"Pada periode deflasi lima bulan ini memang ada produk-produk yang harganya naik, lalu ada yang harganya turun.

Itu kan ada sistem pembobotan dalam penghitungan inflasi maupun deflasi," katanya.

Kebetulan yang menunjukkan indikator deflasi merupakan kelompok komoditas yang memang bobotnya cenderung tinggi.

Jika berlangsung terus-menerus maka deflasi dapat menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang berdampak terhadap penurunan harga produk- produk yang lain.

Dia mengakui deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir dipicu oleh penurunan harga beberapa komoditas pangan, salah satunya pasokan sayuran melimpah karena sedang panen.

Oleh karena itu, perlu perhatian yang intensif kepada petani karena pihak yang terdampak deflasi adalah produsen, bukan sisi konsumen.

"Memang yang diharapkan adalah stabilitas harga, bukan harga yang stabil tinggi dan bukan harga yang cenderung turun.

Kalau dari sisi fluktuasi harga, yang paling fluktuatif memang harga komoditas pangan dan kebetulan pangan ini dalam beberapa bulan ini cenderung turun," katanya seperti dikutip dari Antara.

Sebab itu, diperlukan upaya atau tindakan secara khusus dari pemerintah dengan mendukung petani agar mereka tidak terlalu banyak merugi.

Problemnya memang tidak seperti dulu.

"Kalau dulu bisa diatasi oleh Bulog, sekarang ya susah," katanya.

Bahan Baku Lokal

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB.

Suhartoko, mengatakan komoditas pangan sebagai barang kebutuhan sehari-hari melekat sebagai barang yang inelastis terhadap perubahan harga.

Ketika harga naik dengan persentase harga tertentu, maka jumlah yang diminta turun dengan persentase yang lebih kecil.

Kondisi itu seharusnya meningkatkan pendapatan petani.

Namun demikian, pada saat harga naik, petani tidak punya persediaan untuk dijual, bahkan untuk dikonsumsi sendiri sering kali tidak ada.

"Ironisnya, ketika masa panen harga turun dengan persentase lebih besar dari jumlah yang diminta, pendapatan petani secara keseluruhan malahan menurun," jelasnya.

Indonesia punya penyangga harga yaitu Bulog, dengan mekanisme kebijakan pengendalian harga.

Seperti penetapan harga minimum untuk komoditi beras, maka perlu diefektifkan kembali, bahkan jika perlu diperluas.

"Lembaga pengendali harga perlu diberi kewenangan yang lebih luas agar mampu berperan lebih efektif," kata Suhartoko.

Dalam jangka panjang, perlu merancang kebijakan konsumsi pangan yang tidak bergantung semata pada beras, namun diversifikasi konsumsi pangan perlu digalakkan berdasarkan potensi produksi pangan daerah.

Dari sisi produksi, bahan makanan olahan sebaiknya menggunakan bahan baku domestik atau lokal.

"Sebagai produksi mi instan tidak berbasis bahan baku gandum, tetapi beras, singkong, jagung, umbi-umbian, dengan demikian akan meningkatkan pasar komoditas pangan," pungkasnya.

Ketidakstabilan Sektor Agraria

Sementara itu, Deputi bidang Pemantauan Indonesia Human Rights Committee and Social Justice (IHCS), Lalu Ahmad Laduni, menyatakan pentingnya langkah konkret dari pemerintah untuk mengendalikan deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, khususnya pada harga komoditas pangan.

Menurutnya, fenomena penurunan harga ini tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional.

Pemerintah, kata Laduni, harus lebih sensitif terhadap dampak negatif deflasi, yang justru merugikan sektor hulu, seperti petani dan produsen.

"Ketika harga komoditas pangan seperti beras, sayuran, atau buah-buahan turun drastis, petani adalah pihak yang paling dirugikan.

Pendapatan mereka tergerus, sementara biaya produksi tidak turun sebanding dengan penurunan harga jual," lanjutnya.

Laduni menambahkan bahwa deflasi pangan yang berlarut-larut dapat memicu ketidakstabilan di sektor agraria.

Ia mencontohkan, para petani kecil bisa semakin terjerat dalam kemiskinan karena mereka tidak mampu menutupi biaya produksi dari hasil penjualan yang rendah.

"Ini tentu akan berdampak pada keberlanjutan sektor pertanian kita.

Jika tidak segera ditangani, bukan hanya kesejahteraan petani yang terancam, tetapi juga ketahanan pangan nasional," tegasnya.

Pemerintah harus memiliki kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengendalikan harga pangan, baik ketika terjadi inflasi maupun deflasi.

"Langkah- langkah stabilisasi harga sangat diperlukan, termasuk melalui intervensi pasar atau kebijakan subsidi yang bisa menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran di pasar.

Tanpa adanya langkah ini, kita akan melihat ketimpangan yang semakin besar antara pelaku di sektor hulu dan hilir," paparnya.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.