Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Fiskal

Defisit Berkurang, Pemerintah Diminta Kurangi Pinjaman Luar Negeri

Foto : Sumber: Kemenkeu-Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 diperkirakan lebih rendah di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai dengan target pemerintah. Hal itu berarti pemerintah tidak perlu menarik banyak pinjaman terutama utang luar negeri untuk menutup defisit.

Senior Economist DBS Bank, Radhika Rao, dalam sebuah diskusi mengatakan pada tahun lalu, defisit APBN tercatat 2,38 persen dari PDB atau lebih rendah dari target sekitar 4,5 persen. Kinerja APBN yang kuat tersebut diperkirakan akan berlanjut pada 2023.

Sementara itu, neraca transaksi berjalan diperkirakan masih akan mengalami surplus, meskipun nilainya lebih kecil dibandingkan tahun 2022.

Radhika juga memperkirakan nilai tukar rupiah akan stabil pada 2023 yakni berada di kisaran 15.300-15.600 rupiah per dollar AS. Stabilnya rupiah di kisaran itu karena dijaga oleh Bank Indonesia melalui kebijakan intervensi.

"Ini juga akan bergantung pada pergerakan rupiah dan kami juga berekspektasi agar dollar tetap sedikit melunak saat the Fed mencapai puncak suku bunga acuannya," katanya.

Rao memperkirakan bank sentral AS, Federal Reserve masih akan menaikkan suku bunga acuan sekali lagi sebesar 25 basis poin (bps) pada Mei 2023. Kenaikan itu nantinya menjadikan suku bunga acuan Fed Fund Rate berada di level terminal rate-nya sebesar 5,25 persen.

Penurunan agresivitas the Fed, jelasnya, dipicu oleh tingkat inflasi AS yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun inflasi di AS masih cukup tinggi dibandingkan pada 2018-2019 karena tingkat penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah yang masih tinggi.

Direktur Riset Segara Institute, Pither Abdullah, meminta pemerintah untuk berhenti menarik utang baru sebagai konsekuensi dari defisit APBN. Ketika defisitnya besar maka otomatis kebutuhan atau rencana belanja lebih besar dari rencana penerimaan, sehingga sebagian belanja harus dibiayai dari utang, baik utang domestik maupun utang luar negeri.

Pada tahun lalu, defisit anggaran jauh di bawah perkiraan karena penerimaan pajak melampui target. "Dengan defisit yang di bawah tiga persen, pemerintah tidak perlu banyak banyak menambah utang," tegas Pither.

Begitu pula tahun ini, pemerintah sejak awal sudah merencanakan defisit di bawah tiga persen sesuai ketentuan undang-undang, sedangkan penerimaan diperkirakan akan sesuai target.

Kegiatan Produktif

Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Asuti, mengatakan saat ini rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 40 persen.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih terus didominasi oleh konsumsi rumah tangga sekitar 51 persen. "Seharusnya utang lebih banyak dialokasikan untuk kegiatan yang bisa membangkitkan mesin-mesin pertumbuhan ekonomi sehingga ekonomi tidak hanya didominasi rumah tangga saja, tetapi dialokasikan untuk kegiatan yang mendorong ekspor dan investasi.

Dengan demikian, kontribusi ekspor dan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi meningkat, bukan sebaliknya kegiatan konsumtif yang naik.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan dengan perkiraan defisit di bawah tiga persen, pemerintah seharusnya mengurangi beban pembayaran bunga dan pokok utang, karena hingga akhir Desember 2022 posisi utang pemerintah sudah mencapai 7.733,99 triliun rupiah.

"Terutama utang luar negeri, harus disetop agar Indonesia tidak terlalu tertekan oleh volatilitas rupiah di tengah gonjang-ganjing moneter di berbagai belahan dunia," kata Maruf.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top