Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Dampak dan Problem Anemia

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Salah satu masalah gizi pada remaja putri adalah anemia defisiensi besi. Anemia gizi adalah keadaan di mana kadar hemoglobin, hematocrit, dan sel darah merah lebih rendah dari nilai normal. Akibatnya, salah satu atau beberapa unsur makanan esensial yang dapat memengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (arisman, 2007).

Zat besi merupakan komponen penting dari hemoglobin dan sebagian besar anemia gizi karena kekurangan zat besi. Sekitar setengah dari anemia secara global disebabkan defisiensi besi (WHO, 2014). Hasil penelitian Bhardwaj,et al, (2013) di Himalaya utara (India), menunjukkan rata-rata Hb remaja perempuan usia 16- 19 (9,9 g/dl) lebih rendah dari laki-laki (12,4 g/dl).

Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, berdasarkan jenis kelamin didapat, proporsi anemia perempuan (23,9 persen) lebih tinggi dari pira (18,4 persen). Remaja putri lebih berisiko menderita anemia karena mengalami menstruasi berkala yang mengeluarkan sejumlah zat besi setiap bulan, dan seringkali menjaga penampilan.

Bisa juga karena ingin kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Ini menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi penting seperti zat besi (Adriani M dan Bambang W, 2012). Secara global, anemia memengaruhi 1,62 miliar orang yang sesuai dengan 24,8 persen dari populasi. Prevalensi tertinggi pada anak-anak usia prasekolah (47,4 persen) dan terendah pada pria (12,7 persen).

Namun, kelompok penduduk dengan jumlah terbesar dari individu yang terkena adalah wanita tidak hamil (468,4 juta). Ini dikutip dari De Benoist B, et al, WHO (2008). Data Riskesdas 2013 menunjukkan secara nasional proporsi penduduk umur ≥ 1 tahun dengan keadaan anemia mencapai 21,7 persen.

Berdasarkan pengelompokan umur, didapat bahwa anemia balita cukup tinggi, 28,1 persen. Ini cenderung menurun pada kelompok umur anak sekolah, remaja hingga dewasa muda (34 tahun). Kemudian cenderung meningkat kembali pada kelompok umur lebih tinggi. Berdasarkan jenis kelamin didapat proporsi anemia pada perempuan (23,9 persen) lebih tinggi dari laki-laki (18,4 persen).

Terdapat tiga penyebab defisiensi zat besi. Pertama, kehilangan darah secara kronis, sebagai dampak pendarahan kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid, infestasi parasite, proses keganasan, dan wanita menstruasi yang lama. Kedua, asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat.

Ketiga, peningkatan kebutuhan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung saat pertumbuhan bayi, pubertas, kehamilan, dan menyusui (Arisman, 2007). Menurut Kishone (2006 dalam Biradar, 2012), terdapat beberapa alasan tingginya anemia remaja putrid. Di antaranya, peningkatan kebutuhan zat besi karena pertumbuhan.

Bisa juga hilangnya zat besi saat menstruasi. Lalu terdapat kesenjangan antara kebutuhan yang tinggi untuk pembentukan hemoglobin dan rendahnya asupan zat besi. Ada juga karena kebiasaan makan tidak menentu atau tidak suka mengonsumsi makanan kaya zat besi. Sepanjang usia reproduksi, wanita akan kehilangan darah akibat haid.

Beberapa penelitian membuktikan, jumlah darah yang hilang selama haid berkisar 20-25 cc. Jumlah ini menyiratkan, kehilangan zat besi sebesar 12,5-15 mg/bulan. Ini kira-kira sama dengan 0,4-0,5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah kehilangan basal, jumlah total zat besi yang hilang 1,25 mg per hari. Kehilangan zat besi akibat infestasi parasite seperti cacing, lazim terjadi di negara tropis, lembab, serta keadaan sanitasi buruk.

Darah yang hilang akibat infestasi cacing tambang bervariasi 2-100 cc/hari tergantung pada beratnya infestasi. Jumlah zat besi yang hilang per seribu telur cacing pada tinja sekitar 0,8 -1,2 mg sehari. Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah dari daging hewan dengan angka keterserapan 20-30 persen.

Sebagian besar penduduk negara berkembang tidak/belum mampu menghadirkan bahan makanan tersebut. Ditambah kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti teh dan kopi secara bersamaan pada waktu makan, menyebabkan serapan zat besi waktu makan semakin rendah.

Dampak

Konsekuensi anemia pada remaja putri dapat menurunkan kualitas kesehatan reproduksi, perkembangan motorik, mental, kecerdasan, prestasi belajar, tingkat kebugaran, serta tidak tercapainya tinggi badan maksimal (Adriani M, dan Bambang W, 2012). Hasil penelitian Soleimani Nader dan Naser Abbaszadeh (2011), menunjukkan, nilai prestasi siswa anemia jauh lebih rendah dari pelajar sehat.

Anemia pada remaja dapat meningkatkan risiko anemia pada masa kehamilannya kelak. Di mana anemia berat pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi. Ini meningkatkan risiko bayi lahir premature dan berat badan lahir rendah (Sulistyoningsih H, 2011).

Terdapat empat pendekatan dasar pencegahan anemia defisiensi besi. Pertama, pemberian tablet/suntikan zat besi. Kedua, pendidikan dan upaya yang terkait peningkatan asupan zat besi melalui makanan. Ketiga, pengawasan penyakit infeksi dan empat, fortifikasi makanan pokok dengan zat besi (Arisman, 2007). Solusi pertama mencegah anemia pada remaja wanita dengan suplementasi zat besi secara bersamaan dengan pemberian makanan tambahan tinggi energi pada remaja yang mengalami underweight.

Asupan zat besi dari makanan dapat ditingkatkan melalui dua acara. Pertama, memastikan konsumsi makanan yang cukup mengandung kalori sesuai dengan kebutuhan. Kedua, meningkatkan ketersediaan hayati zat besi, dengan mempromosikan makanan yang dapat memacu dan menghindarkan makanan penghambat penyerapan zat besi.

Pengawasan penyakit infeksi memerlukan upaya kesehatan masyarakat seperti: penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi lingkungan, dan kebersihan perorangan. Juga penting untuk mengonsumsi obat cacing setiap 6 bulan untuk mencegah penyakit kecacingan. Fotifikasi makanan yang banyak dikonsumsi dan diproses secara terpusat merupakan inti pengawasan anemia di berbagai negara.

Fortifikasi makanan merupakan salah satu cara terampuh mencegah defisiensi zat besi. Proses ini dapat ditargetkan untuk merangkul beberapa atau seluruh kelompok masyarakat. Para target harus dibiasakan mengonsumsi makanan fortifikasi serta mampu mendapatkan.

Di negara industri, produk makanan fortifikasi adalah tepung gandum dan susu. Di negara berkembang telah dipertimbangkan untuk memfortifikasi garam, gula, beras, serta saus ikan.

Dedah Ningrum, MKM, Dosen Prodi Keperawatan UPI Sumedang

Komentar

Komentar
()

Top