Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Seleksi Alam

Dampak Antropogenik Mendorong Hewan Melakukan Evolusi

Foto : Wikimedia
A   A   A   Pengaturan Font

Perubahan lingkungan yang disebabkan perilaku manusia berpengaruh terhadap beberapa spesies hewan. Mereka berevolusi dengan mengubah tempat tinggal, tempat berkembang biak, jenis makanan, lawan dan teman.

Ngengat berbintik merupakan contoh ikonik teori evolusi Charles Darwin melalui seleksi alam. Selama berabad-abad ngengat berbintik (Biston betularia) biasa ditemukan di hutan sekitar Manchester, Inggris, dan tempat lainnya. Dengan sayapnya yang berwarna terang, ngengat berbintik menyamarkan diri dari predator dengan kulit pohon berwarna abu-abu muda tempat mereka beristirahat pada siang hari.

Namun, pada awal abad ke-19, jelaga dari revolusi industri telah menciptakan lingkungan evolusi baru yang membuat ngengat menjadi berwarna gelap. Hal ini untuk menyesuaikan dengan dengan pohon yang tertutup jelaga.

Pada 1950-an dan 1960-an, ahli biologi evolusi menemukan bahwa di kawasan industri, 80 persen ngengat berwarna gelap dan ngengat gelap memiliki keunggulan bertahan hidup dengan perbandingan 2:1 dibandingkan ngengat berwarna terang di kawasan tersebut.

Saat ini, di era genetika molekuler, kita mengetahui mutasi yang mungkin menghasilkan ngengat berwarna gelap terjadi sekitar tahun 1819 dan merupakan hasil dari "gen yang melompat" pada bagian DNA yang mengubah posisi dalam genom dan dapat menciptakan mutasi dalam prosesnya.

Penggelapan warna pada ngengat berbintik juga merupakan contoh evolusi antropogenik atau perubahan evolusi yang disebabkan oleh perubahan yang dilakukan manusia terhadap lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengidentifikasi lebih banyak kasus perubahan evolusi yang dimediasi manusia.

Cakupan dan dampak penuh dari evolusi antropogenik baru sekarang menjadi fokus. Manusia membentuk lintasan evolusi hewan di seluruh dunia, mulai dari serangga hingga paus. Sebagai hasil dari pengaruh manusia, aspek-aspek utama perilaku hewan berubah, termasuk tempat tinggal mereka, tempat mereka berkembang biak, apa yang mereka makan, siapa yang mereka lawan dan siapa yang teman mereka.

Manusia ternyata tidak hanya mengubah lingkungan tempat spesies hidup, namun juga mengubah spesies itu sendiri saat mereka berevolusi sebagai respons terhadap dampak terhadap lingkungan mereka. Salah satu konsekuensi dari perubahan ini adalah menciptakan ketidaksesuaian antara hewan dan lingkungan tempat mereka berevolusi.

Makhluk yang dulunya diperlengkapi dengan baik untuk menghadapi tantangan lingkungan mereka tiba-tiba menghadapi dunia di mana adaptasi perilaku mereka yang telah disesuaikan dengan baik, tidak lagi adaptif sama sekali. Pada beberapa spesies, seleksi alam mengkalibrasi ulang perilaku sehingga individu lebih cocok dengan keadaan baru mereka.

Pertanyaannya adalah apakah hal itu akan dapat dilakukan cukup cepat untuk mengimbangi transformasi manusia di planet yang ditinggali bersama?

Selama rentang waktu evolusi yang panjang, seleksi alam telah mendukung hubungan yang erat antara suhu sekitar dan dimulainya musim kawin bagi banyak hewan, termasuk burung. Hormon yang terkait dengan reproduksi mulai bekerja saat cuaca menghangat membuat burung kawin, membangun sarang, dan membawa makanan pulang untuk disimpan di mulut anak-anaknya yang sedang menunggu.

Bagi burung layang-layang pohon (Tachycineta bicolor), musim semi adalah pemicu yang memulai reproduksi itu. Namun, pemicu itu sekarang ditarik lebih dini yang sebagian besar sebagai akibat dari peningkatan emisi karbon dioksida dimana suhu musim semi rata-rata untuk burung layang-layang pohon yang hidup di New York utara meningkat sekitar 1,9 derajat Celsius antara tahun 1972 dan 2015, dan kala itu musim semi dimulai lebih awal.

Selama periode yang sama, burung layang-layang pohon mulai berkembang biak 13 hari lebih awal. Isyarat lingkungan yang digunakan burung untuk menentukan waktu berkembang biak menjadi tidak sesuai dengan kondisi mereka yang berubah.

Karena ketidaksesuaian ini, burung layang-layang yang sedang berkembang biak berisiko mengalami cuaca dingin yang tidak akan mereka alami. Cuaca dingin ini tidak secara langsung memengaruhi kelangsungan hidup burung dewasa, tetapi mengurangi aktivitas mangsa serangga yang dibawa burung layang-layang untuk anak-anaknya yang lapar.

Induk burung tidak dapat menemukan cukup makanan untuk anak-anaknya, yang membuat anak-anaknya cenderung tidak dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Dengan menggunakan data dari 11.236 anak burung dari lebih dari 2.000 sarang, J Ryan Shipley, yang sekarang bekerja di Institut Federal Swiss untuk Penelitian Hutan, Salju, dan Bentang Alam, dan rekan-rekannya menemukan bahwa anak burung layang-layang pohon yang menetas antara 2011 hingga 2015 dua kali lebih mungkin mengalami cuaca dingin selama perkembangan awal mereka dibandingkan burung yang menetas pada 1970-an.

"Salah satu akibatnya adalah peningkatan jumlah kegagalan sarang total di mana setiap anak burung di sarang mati. Cuaca dingin yang parah pada Juni 2016 menyebabkan kematian 71 persen anak burung di sarang tahun itu," kata Shipley seperti dikutip dari Scientific American.

Efek Gangguan

Korban massal bukanlah satu-satunya dampak buruk yang diamati Shipley dan timnya. Mereka juga menemukan bahwa sarang tempat telur menetas sebelum cuaca dingin terakhir, rata-rata, memiliki satu anak burung yang bertahan hidup, lebih sedikit daripada sarang tempat telur menetas setelah cuaca dingin terakhir.

Tentu saja, tidak semua burung layang-layang pohon merespons datangnya musim semi dengan cara yang persis sama. Beberapa mungkin memulai perkembangbiakan lebih awal daripada burung pada umumnya dan yang lain lebih lambat.

Jika variasi itu didasarkan pada perbedaan genetik yang mendasarinya, maka masuk akal untuk mengharapkan seleksi alam lebih menyukai burung yang mulai berkembang biak kemudian. Namun ketidaksesuaian ini merupakan masalah yang sulit dipecahkan oleh seleksi alam.

Tidak seperti warna bulu yang menjadi sedikit lebih cerah atau lebih kusam, mengkalibrasi ulang hubungan antara suhu dan datangnya perkawinan sangatlah rumit. Ini melibatkan perubahan hormonal, neurobiologis, dan perilaku. Mungkin butuh waktu lebih lama daripada yang dibutuhkan burung layang-layang pohon. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top