Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

“Circular Economy" Sektor “E-Waste" Harus Dukung Keberlanjutan Lingkungan

Foto : Istimewa

Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto, di tempat pengepul e-waste kawasan TPST Bantargebang, baru-baru ini.

A   A   A   Pengaturan Font

BEKASI - Electronic waste (e-waste) atau limbah elektronik merupakan suatu masalah yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat jika tidak ditangani secara profesional bersandar pada peraturan perundangan. Namun, perlu diketahui, bahwae-waste atau limbah elektronik masih bisa dikembalikan menjadi sumber daya.

Global E-Waste Monitor 2020 dipublikasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, jumlah e-waste pada 2019 mencapai 53 juta ton. PBB memprediksi akan mencapai 74 juta ton pada 2030, meningkat lagi menjadi 120 ton pada 2050.

Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto mengatakan hanya 17,4% e-waste yang mengandung campuran zat berbahaya dan beracun. Jika didaur ulang dengan benar memiliki potensi sangat besar. Data ini dikutip Dijen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (18/10/2021).

Menurut siaran pers yang diterima Koran Jakarta, Senin (13/12), Bagong mengatakan di Indonesia e-waste sekitar 2 juta ton pada 2021. Pulau Jawa berkontribusi sangat besar, sekitar 56%. Konsentrasi e-waste masih di Pulau Jawa. Sampai saat ini pengelolaan e-waste masih belum beres, di lapangan sering terjadi pelanggaran. Bagaimana dengan kondisi e-waste di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian timur?

Pada tingkat lapangan, tambah Bagong, lebih menarik dan perlu kaji secara ilmiah. Pada 10 dan 11 Desember 2021 Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) melakukan observasi dan interview dengan sejumlah pengepul e-waste di kawasan TPST Bantargebang. Salah satu Pengepul yang di-interview memperkejakan 10-15 orang setiap hari. Setiap minggu bisa mengumpulkan e-waste belum terpilah sebanyak 15-20 ton. Sedang yang cacahan sekitar 10 ton, sebagian berasal dari sejumlah daerah di luar Bekasi.

Menurut Bagong, ada sekitar 12 jenis dalam kelompok e-waste dalam usaha tersebut. Di sini difokuskan dua jenis plastik, yaitu ABS dan Himpek, mengingat modalnya terbatas. ABS seperti helm, bagian-bagian kendaraan dari plastik. Harga ABS sekitar 4.000 rupiah per kg sekarang. Sedang harga Himpek sekitar 1.200 rupiah per kg. Tujuh bulan lalu ketika pandemi Covid-19 memuncak harganya jatuh 50-60%, bahkan beberapa pengepul/bandar tidak berani beli. Sekarang sudah normal lagi.

Setiap hari Sabtu, tambah dia, tidak ada kegiatan sortir. Aktivitas hanya penimbangan material e-waste yang telah disortir akan dikirim ke Pangakalan V Bantargebang. E-waste terpilah tersebut akan dicacah. Tujuannya guna meningkatkan harga jual. Plastik e-waste sudah dicacah harganya 6.000 rupiah per kg.

Pengepul tersebut, tambah Bagong, selain memperoleh income dari plastik e-waste campuran, juga mendapat dari material besi, alumunium, tembaga, babet. Setiap minggu bisa mengumpulkan besi 2-3 kwuintal. Harga besi rata-rata 4.000 rupiah per kg, besi super mencapai 7.000 rupiah per kg. Sedang harga alumunium 75.000 rupiah per kg. Berkaitan dengan harga-harga tersebut perlu dilakukan cross-check agar lebih valid.

Pengepul itu, tambah dia, menjual besi sebulan sekali sekitar 15 ton. Sistem sortir plastik dan besi menggunakan sistem borongan. Sedang jenis alumunium, babet, dijual setiap tiga bulan sekali. Sistemnya yang belakangan ini adalah maro atau 50%:50%. Jadi semacam tabungan.

Menurut Bagong, perputaran uangnya setiap bulan lebih dari 100 juta rupiah. Pengepul ini merupakan salah satu yang sukses, dari usaha yang awalnya kecil. Kegiatannya hanya melakukan pembelian limbah elektronik, kemudian mensortir, mencacah dan menjual ke pabrik daur ulang. Aktivitas pencacahan dilakukan di tempat lain. Di sini tidak dilakukan daur-ulang, sebab lokasinya kecil dan tidak punya teknologi. Juga berdekatan dengan pemukiman warga dan kantor kelurahan.

Sayangnya, tambah dia, usaha tersebut masih dalam kelompok sektor informal. Sehingga jaminan kesehatan dan kesehatan kurang diperhatikan. Para pekerja memakai pakaian kerja seadanya, tanpa sepatu, helem dan keselamatan kerja lainnya. Tidak ada SOP. Jika terjadi kecelakaan kerja resikonya tanggung sendiri. Ini masalah serius di tingkat lapangan.

"Banyak orang ingin mengelola e-waste, tetapi, harus hati-hati karena e-waste masuk kategorial limbah berbahaya dan beracun (B3). Apalagi melakukan daur ulang harus taat pada peraturan perundangan. Jika tidak akan menimbulkan petaka lingkungan dan kesehatan. Akibatnya terjerat hokum," kata Bagong.

Kebijakan dan peraturan perudangan pengelolaan e-waste, tambah Bagong, mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 101/2014 tentang Pengelolaan B3, PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, sampah elektronik termasuk ke dalam limbah B3. Jika tidak dikelola dengan benar akan menimbulkan masalah bagi lingkungan dan kesehatan.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top