Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Pengelolaan Keuangan I Pemerintah Jangan Mau Kalah sama Obligor

Bunga Obligasi Rekap BLBI Terus Melambungkan Utang Negara

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan - KORAN JAKARTA/ONES

SUROSO IMAM ZADJULI Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya - Kita tidak perlu menambah utang lagi untuk membayar sesuatu yang tidak produktif seperti obligasi rekap BLBI. Justru penerima BLBI yang harus diusut, termasuk yang sudah mendapat Surat Keterangan Lunas.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Utang negara akan terus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke depan, jika pemerintah tidak mengambil kebijakan untuk menghentikan sementara (moratorium) pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi (rekap) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebab, bunga obligasi rekap tersebut merupakan beban bunga di atas bunga selama 24 tahun sejak 1998 yang membuat utang negara terus melambung.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam publikasinya baru-baru ini menyebutkan posisi utang pemerintah per Maret 2022 sudah mencapai 7.052,5 triliun rupiah dengan Debt to GDP ratio sebesar 40,39 persen. Angka tersebut naik dari 7.014,58 triliun rupiah pada bulan sebelumnya.

Tambahan utang signifikan hampir 3.000 triliun rupiah memang terjadi dalam tiga tahun terakhir terhitung sejak 2020 hingga tahun ini seiring dengan kebijakan memperlebar defisit guna membiayai pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Rata-rata selama tiga tahun pemerintah menarik pembiayaan 900-1.000 triliun rupiah per tahun.

Di luar utang baru selama pandemi, pemerintah masih membawa warisan utang saat krisis moneter 1998 lalu yang terus membebani keuangan negara, karena tiap tahun harus mengeluarkan pembayaran bunga atas obligasi rekap yang dananya tidak pernah diterima pemerintah, tetapi ditempatkan di bank untuk memperkuat modalnya.

Dalam perjalanannya, bank-bank penerima obligasi rekap tersebut sudah kembali sehat, bahkan setiap tahun sudah mampu mencetak laba di 20-30 triliun rupiah. Namun demikian, mereka masih menikmati pembayaran bunga obligasi rekap dari pemerintah di tengah kemampuan keuangan negara yang ruang fiskalnya makin terbatas.

Menanggapi melambungnya utang tersebut, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan tanggungan utang terkait obligasi rekap BLBI semakin menyusahkan masyarakat yang sudah terbebani dengan berbagai kenaikan pajak di saat daya beli menurun.

"Policy utang kita keliru, harus berani tidak berutang, kalau memang alasannya untuk pembangunan, bisa meniru skema yang dilakukan negara lain lewat Build Operate Transfer (BOT). Walaupun dengan alasan utang masih dalam toleransi rasio, itu tetap tidak bisa karena terkait berbagai faktor ekonomi yang lain, seperti inflasi, daya beli sedang turun, PHK karena pandemi dan ledakan jumlah penduduk yang tak disertai ketersediaan lapangan kerja," kata Suroso.

Apalagi saat rakyat kecil semakin sulit karena harga kebutuhan pokok yang makin mahal, pajak PBB di setiap daerah naik ditambah kenaikan harga bahan bakar. "Kita tidak perlu menambah utang lagi untuk membayar sesuatu yang tidak produktif seperti obligasi rekap BLBI. Justru penerima BLBI yang harus diusut, termasuk yang sudah mendapat Surat Keterangan Lunas," pungkas Suroso.

Berlarut-larut

Dihubungi terpisah, Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan utang semakin meningkat terutama di tengah pandemi. Sebab itu, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk mengurangi beban utang.

Salah satu cara mengurangi beban utang adalah dengan menuntaskan kasus BLBI dan obligasi rekap yang sudah berlarut-larut. "Bunga obligasi rekap BLBI besar juga kan bebannya makanya akan menggunung jika tidak dihentikan," kata Nailul.

Opsi lainnya adalah pemerintah bisa menghentikan sementara pembayaran bunga. Di sisi piutang, obligor yang enggan mengembalikan BLBI yang mereka terima harus dikenakan bunga berbunga. "Kalau perlu sita asetnya. Jika ditemukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara bisa dipidana. Pemerintah jangan mau kalah sama para obligor ini," katanya.

Wakil Ketua Panitia Khusus BLBI DPD RI, H Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, sebelumnya obligasi rekap harus dicarikan solusinya agar perampokan uang negara secara terselubung dengan dalih biaya krisis bisa dihentikan.

Wakil Presiden 2014-2019, Jusuf Kalla mengatakan pemerintah ke depan terbebani pembayaran utang karena bunganya saja jika rata-rata 6 persen per tahun, tiap tahun harus mengalokasikan 400 triliun rupiah dari APBN.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top