Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Budaya Membaca di Indonesia Rendah Berkaitan dengan Norma Sosial

Foto : ANTARA/Maulana Surya

Sejumlah anak didampingi orangtuanya membaca buku dari Perpustakaan Dauzan pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Solo, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2020).

A   A   A   Pengaturan Font

Anhar Dana Putra, Politeknik STIA LAN Makassar; Andika, Universitas Hasanuddin, dan Andi Riswan Mohamad, Universitas Negeri Makassar

Sejak keikutsertaannya pertama kali pada tahun 2000 dalam Program for International Student Assessment (PISA) dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi inter-governmental yang bermisi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui pembangunan kebijakan, Indonesia masih betah berada di klasemen bawah. Data PISA terbaru tahun 2022 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 81 Negara yang ikut serta.

Dari segi literasi saja, skor Pisa Indonesia di tahun 2022 khusus untuk kategori kemampuan membaca berada di peringkat ke 71 dari 81 negara dengan skor 371, di bawah rata-rata skor membaca global yakni 476. Sementara itu, survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan hanya terdapat 13,11% orang Indonesia yang membaca buku dalam sebulan terakhir selama periode survei tersebut. Ini mengindikasikan bahwa budaya membaca di Indonesia masih lemah.

Sebenarnya, pemerintah telah berupaya membenahi persoalan ini dengan berbagai program. Sebut saja program Satu Desa Satu Perpustakaan, Gerakan Literasi Sekolah, atau Sastra Masuk Kurikulum.

Namun, upaya-upaya intervensi tersebut tampaknya tidak cukup untuk membangun budaya membaca di Indonesia. Sebab, menurut kami, ada perspektif yang tidak utuh dari cara pandang pemangku kepentingan dalam melihat budaya membaca di Indonesia. Selama ini, segala intervensi yang dilakukan masih terlalu berfokus pada pembangunan akses terhadap buku-buku bacaan. Padahal, selain akses, ada faktor lain yang juga berperan dalam menciptakan budaya baca, yaitu norma sosial.

Norma sosial dan budaya baca

Norma sosial merupakan seperangkat hal yang diterima atau dianggap normal (pantas) oleh orang-orang dalam suatu kelompok secara kolektif. Norma sosial dapat berfungsi sebagai navigator bagi seseorang untuk menentukan apakah perbuatan yang ia lakukan dapat diterima atau tidak oleh masyarakat sekaligus memprediksi bagaimana orang lain akan menanggapi perilakunya secara sosial.

Icek Ajzen, seorang psikolog sosial dan profesor emeritus di Universitas Massachusetts Amherst, Amerika Serikat (AS) dalam teorinya, Theory of Planned Behaviour (teori perilaku yang direncanakan,) menjelaskan bahwa persepsi terhadap norma sosial adalah salah satu variabel yang menentukan munculnya intensi seseorang untuk melakukan sesuatu.

Artinya, sebelum melakukan sesuatu, seseorang biasanya akan memeriksa dulu apakah lingkungan sekitarnya bisa menerima perilaku yang akan ia lakukan. Jika seseorang meyakini bahwa lingkungannya tidak akan mendukung perilakunya, maka ia akan cenderung mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu tersebut.

Dalam konteks budaya membaca, norma sosial terhadap perilaku membaca merupakan seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan masyarakat memandang perilaku membaca buku sebagai perilaku yang normal dan wajar untuk dilakukan.

Jika akses memberi seseorang kesempatan untuk membaca dengan menyediakan buku bacaan, norma sosial berperan untuk memelihara perilaku membaca buku sebagai sebuah perilaku yang dianggap normal, atau bahkan dirayakan, dalam masyarakat.

Normal sosial terkait membaca di Indonesia

Di Indonesia, norma sosial yang mendukung perilaku membaca tampaknya belum terbentuk. Berdasarkan survei perilaku membaca yang kami lakukan pada 503 orang responden pada tahun 2023 di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sebagian besar responden masih beranggapan bahwa lingkungan sosialnya tidak begitu mendukung perilaku membaca buku.

Saat ditanya apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya ketika membaca buku di tempat umum? Sebagian besar responden meyakini bahwa mereka akan dicap negatif oleh masyarakat. Terdapat 30% responden (porsi terbesar) yang berpikir bahwa mereka akan dicap terlalu serius dan 23% responden (terbesar ketiga) yang berpikir bahwa mereka akan dicap sok intelek. Temuan ini menunjukkan bahwa orang Indonesia masih menganggap perilaku membaca sebagai perilaku yang dicap negatif oleh lingkungan.

Argumen tersebut diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% dari total responden yang beranggapan bahwa circle (lingkaran pertemanan) mereka sendiri tidak mendukung perilaku membaca.

Selain itu, keluarga yang seringkali menjadi faktor penting terbentuknya perilaku juga tidak cukup dominan mendukung perilaku membaca. Sekalipun sebagian besar (54,8%) merasa didorong oleh keluarga untuk membaca buku, 45,2% responden masih merasa perilaku membacanya tidak didukung.

Data di atas juga didukung oleh studi tahun 2021 yang menunjukkan bahwa ketika perilaku membaca dianggap sebagai kegiatan yang dihargai dan didukung oleh orang tua, orang-orang cenderung mengembangkan kebiasaan membaca yang kuat.

Dibutuhkan segera: intervensi

Temuan-temuan di atas menegaskan pentingnya intervensi dalam membangun norma sosial yang pro terhadap perilaku membaca sehingga budaya membaca di Indonesia dapat lebih terbentuk.

Beberapa upaya intervensi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Kampanye media sosial

Menampakkan perilaku membaca sebagai aktivitas yang lekat dan dekat dengan anak muda bisa menjadi intervensi yang efektif. Inisiatif ini sudah dilakukan oleh beberapa gerakan masyarakat seperti gerakan Indonesia Book Party yang berbasis di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia, atau gerakan Baca Di Surabaya yang berpusat di Kota Surabaya.

Inisiatif-inisiatif semacam ini punya potensi mengeliminasi persepsi-persepsi negatif yang melekat pada perilaku membaca buku dan justru membuat perilaku membaca terlihat keren. Semakin keren terlihat, semakin banyak anak muda yang ingin ikut serta. Apalagi jika gerakan ini dibarengi dengan pelibatan public figure atau influencer, maka perilaku membaca akan menjadi tren populer yang akan digemari anak-anak muda.

Riset tahun 2022 tentang dampak Influencer media sosial membuktikan bahwa influencer dipersepsikan oleh publik sebagai figur yang persuasif dan dapat dipercaya (trustworhty) sehingga memiliki kekuatan untuk memengaruhi perilaku publik.

Sebagai individu kita juga dapat berperan dalam membangun norma sosial yang mendukung perilaku membaca buku. Dengan sering-sering mengunggah foto sedang membaca buku di media sosial, perilaku membaca akan diidentifikasi sebagai perilaku yang identik dengan masyarakat kita. Sehingga, orang-orang yang belum memiliki kebiasaan membaca buku akan merasakan FoMO (Fear of Missing Out) dan akhirnya mulai membaca buku agar diterima masyarakat.

2. Program membaca bersama

Mengadakan kegiatan membaca bersama di perpustakaan desa, di sekolah, atau di ruang publik dapat menciptakan persepsi bahwa lingkungan tersebut adalah lingkungan yang mendukung budaya membaca. Salah satu kegiatan yang dapat dijadikan contoh baik adalah Baca Bareng yang sudah diterapkan di Jakarta.

Kegiatan membaca bersama di ruang publik semacam ini, jika digalakkan secara masif di berbagai daerah, akan memiliki daya yang kuat untuk mendorong masyarakat menjadi tertarik untuk membaca buku, melakukannya secara terus-menerus, hingga pada akhirnya membangun kebiasaan membaca buku dengan sendirinya.

Tentu saja ada banyak upaya atau intervensi lain yang bisa dilakukan untuk membangun norma sosial. Namun, upaya-upaya tersebut tidak akan mendapat perhatian jika kita gagal memandang masalah rendahnya budaya membaca di Indonesia dengan perspektif yang benar dan utuh.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat memperluas cara pandang dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain selain akses, termasuk norma sosial yang tidak kalah penting dalam upaya pembangunan budaya membaca di Indonesia.


Artikel ini juga mendapatkan saran dan masukan dari Melania Utami Nirwan, Hanita Putra Djaya, Febrianty Hasanah, Nur Inayah Musa, Nurmisuari Salihu, dan Sri Ayu Pratiwi dari Tim Riset Perilaku Membaca Kota Makassar (LONTAR) dan The Book Club Makassar. Tim penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi pemikiran yang diberikan.The Conversation

Anhar Dana Putra, Associate professor, Politeknik STIA LAN Makassar; Andika, Lecturer in Geophysics, Universitas Hasanuddin, dan Andi Riswan Mohamad, Lecturer in Linguistics and Literary Studies, Universitas Negeri Makassar

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top