Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

BPOM: Kontaminasi BPA pada Air Minum Galon Isi Ulang Mengkhawatirkan

Foto : Istimewa

Truk mengangkut galon air minum isi ulang.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan potensi bahaya migrasi Bisfenol-A pada sarana distribusi dan fasilitas produksi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Temuan tersebut didasarkan pada uji post-market air minum galon isi ulang dalam satu tahun terakhir.

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang mengatakan potensi tersebut telah mencapai ambang batas bahaya. Bisfenol-A atau BPA merupakan bahan campuran utama polikarbonat, jenis plastik pada kebanyakan galon isi ulang yang beredar di pasar.

Sebagai bahan kimia, BPA berfungsi menjadikan plastik polikarbonat mudah dibentuk, kuat dan tahan panas. Plastik polikarbonat mudah dikenali dengan kode daur ulang "7" pada dasar galon.

"Pada uji post-market pada 2021-2022, dengan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia, menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan," kata dia dalam keterangannya dikutip, Rabu (2/2).

Menurut Rita, hasil uji migrasi BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan menunjukkan sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel pada sarana produksi berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/ kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/ kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.

"Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," katanya.

Selain itu, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia, kata Rita menambahkan.

BPOM juga melakukan kajian paparan BPA pada konsumen produk galon isi ulang dengan hasil menunjukkan bahwa kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.

Rita mengatakan, BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat paparan BPA pada air kemasan yang dilakukan bersama kalangan ahli di perguruan tinggi.

Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif dilakukan oleh sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menggunakan estimasi berdasarkan prevalence-based untuk mengkaji beban ekonomi.

Berdasarkan hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) pada 2021, kata Rita, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali.

"Diperkirakan beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp30,6 triliun dalam periode satu siklus in- vitro fertilization (IVF)," katanya.

Dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, kata Rita, beberapa negara telah memperketat standar batas migrasi BPA.

"BPOM belajar dari trend yang berlangsung, dinamika regulasi negara lain, dan mempertimbangkan kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," katanya.

Dalam draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan, saat ini tengah memasuki fase harmonisasi peraturan di level birokrasi pemerintahan, tertera sejumlah pasal yang mengharuskan produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".

Sementara untuk produsen AMDK yang menggunakan plastik selain polikarbonat, rancangan peraturan membolehkan mereka mencantumkan label "Bebas BPA".

"BPOM terus melakukan evaluasi standar dan peraturan bersama dengan pakar di bidang keamanan air, pelaku usaha, kementerian dan lembaga terkait, akademisi dan masyarakat dalam mempersiapkan standar kemasan dan label AMDK di pasaran," pungkasnya.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail

Komentar

Komentar
()

Top