Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Moneter Global l Bankir Prediksi BI Belum Akan Naikkan Bunga Acuannya

BoJ Segera Ikuti Jejak The Fed

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Bank sentral Jepang berancang-ancang mengakhiri kebijakan moneter ultralonggar, mengikuti jejak kompatriotnya, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

JAKARTA - Era kebijakan moneter longgar di dunia bakal segera berakhir. Setelah Amerika Serikat (AS), menyusul rencana bank sentral Jepang atau Bank of Japan (BoJ) segera mengakhiri kebijakan moneter ultralonggar.

Jika kondisi tersebut terealisasi dikhawatirkan bisa memicu aliran modal keluar atau capital outflow secara deras dari negara kekuatan ekonomi baru atau emerging market yang selama ini menjadi tujuan pada investor negara maju. Capital outflow tersebut berisiko mengancam stabilitas sistem keuangan dan mata uang di emerging economies, termasuk Indonesia.

Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda, mengungkapkan bank sentral akan membahas dan berkomunikasi tentang waktu yang tepat rencana keluar dari kebijakan moneter yang sangat longgar. Kuroda mengatakan BoJ tidak memiliki strategi keluar khusus sekarang karena pihaknya akan mengambil waktu yang signifikan dalam mencapai target inflasi 2,0 persen.

Namun, dia mengatakan keluar dari kebijakan ultralonggar akan melibatkan kenaikan suku bunga karena kelebihan cadangan lembaga keuangan dengan BoJ, dan langkah-langkah untuk menyusutkan neraca bank sentral.

"Untuk memastikan pasar tetap stabil, penting untuk datang dengan strategi dan panduan pada waktu yang tepat tentang bagaimana untuk melanjutkan keluar. Ketika waktu yang tepat tiba, kami akan berdebat di pertemuan kebijakan kami tentang strategi keluar dan panduan, serta mengomunikasikannya dengan tepat," paparnya.

Kuroda menegaskan BoJ akan dengan sabar mempertahankan program stimulus besar-besaran untuk memastikan inflasi meningkat menuju target 2,0 persen. "Ekonomi sedang mempertahankan momentum untuk mencapai target harga BOJ," katanya.

Sebelumnya, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed telah lebih dulu mengakhiri kebijakan moneter longgar sejak 2015. Untuk pertama kalinya pascakrisis keuangan pada 2008, The Fed menaikkan bunga acuannya atau Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi di kisaran 0,25-0,50 persen.

Kenaikan tersebut berlanjut pada 2016 sebanyak sekali. Selanjutnya, penyesuaian FFR dilakukan secara agresif pada dua tahun berikutnya, yakni pada 2017 sebanyak tiga kali dan pada 2018 sebanyak empat kali. Saat ini, suku bunga acuan The Fed berada di kisaran 2,25-2,50 persen. Namun tahun ini, penyesuaian FFR cenderung moderat atau dovish.

"Stance" BI

Meski di tengah berakhirnya era moneter longgar di negara maju, sejumlah bankir masih tetap optimistis terhadap stabilitas pergerakan mata uang rupiah. Chief Economist Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto, di Jakarta, Senin (4/3), memperkirakan Bank Indonesia (BI) belum akan menaikkan suku bunga BI7DRR atau bunga acuan. Hal itu mempertimbangkan tren kebijakan moneter global cenderung melonggar atau dovish yang besar kemungkinan sampai berakhirnya triwulan I-2019 dan berlanjut hingga semester pertama 2019.

Langkah itu penting untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah melemahnya perekonomian sejumlah negara, seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Eropa serta arah ekspektasi inflasi domestik yang melandai sesuai jangkar 3,5 persen. "Dengan langkah ini pula nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih akan stabil di kisaran 14.000-an di sepanjang 2019 karena real effective interest rate dalam rupiah masih menarik bagi investor asing," kata Ryan.

Hal yang menggembirakan, papar Ryan, yakni kemungkinan besar The Fed hanya akan menaikkan FFR satu kali tahun ini.

bud/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Vitto Budi, Antara

Komentar

Komentar
()

Top