BKKBN: Tak Nikah Dini Selamatkan Bangsa dari Pendapatan Kelas Menengah
Foto: Facebook/BKKBNJAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, meminta generasi muda Indonesia tidak menikah pada usia dini untuk menyelamatkan bangsa dari pendapatan kelas menengah (middle income trap) dan menyambut bonus demografi.
"Kalau kita terjebak di middle dan low income trap, maka susah keluar dari jebakan itu, generasi muda menjadi penentu kita akan memetik bonus demografi atau tidak. Kuncinya, harus tidak kawin pada usia dini, tidak putus sekolah, tidak menganggur, dan tidak sebentar-sebentar hamil," kata Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (27/10) lalu.
Ia menegaskan, sebelum memasuki puncak Indonesia Emas pada tahun 2045, maka pada tahun 2035, Indonesia sudah harus sukses dan bisa memanfaatkan dengan baik bonus demografi.
"Hari ini setiap 100 orang bekerja hanya menanggung 44 penduduk tidak produktif. Jadi kalau mau kaya, ya sekarang pada era bonus demografi ini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi, dan kalau tidak oleh generasi muda, oleh siapa lagi?" ucap Hasto.
"Kita lihat di sini bahwa tahun 2035 sudah lewat kesempatan windows opportunity atau beban penduduk usia produktif terhadap penduduk usia tidak produktif berada di titik terendah, karena dependency ratio atau perbandingan usia penduduk usia tidak produktif 0-15 tahun dan di atas 65 tahun dengan usia produktif 16-64 tahun sudah naik," kata dia.
Menurut dia, bonus demografi dapat meningkatkan bonus kesejahteraan, tetapi dalam mencapai hal tersebut tentu membutuhkan upaya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan.
"Bonus penduduk menjadi bonus kesejahteraan. Tentu butuh upaya, di antaranya peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan itu menjadi prioritas penting, utamanya untuk menurunkan angka stunting, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup perempuan, anak dan keluarga," ucap Hasto.
Ia juga menyebutkan, kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh 3 hal, yakni pendapatan per kapita, angka harapan hidup, dan pendidikan.
Sedangkan di Indonesia, rata-rata lama sekolah masih 8,48 tahun meskipun harapan lama sekolah seharusnya sudah 12 tahun, sehingga hal ini menjadi salah satu hal serius untuk diperjuangkan agar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bisa meningkat.
"Kesenjangan masih terlalu tinggi antara satu daerah dengan yang lain, sebagai contoh, IPM Yogyakarta 79, Bali 75, namun ternyata IPM Papua 60,44. Pengaruh dari stunting itu sangat serius karena kualitas sumber daya manusia sangat erat dengan kemampuan intelektual, dan ini menjadi indikator penting dalam menentukan kualitas SDM di Indonesia," tutur dia.
Menurut dia, dengan mencegah stunting sejak dini, utamanya pada remaja dengan edukasi untuk tidak kawin dini, maka kualitas SDM juga bisa meningkat. Ant/I-1
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Pakar Dokter Lintas Batas: Keracunan Metanol di Laos adalah Puncak Gunung Es
- Gunung Semeru Dua Kali Erupsi pada Sabtu Pagi
- AS Laporkan Kasus Flu Burung Pertama pada Anak
- Jonatan dan Sabar/Reza Tantang Unggulan Tuan Rumah di Semifinal China Masters 2024
- Christian Sugiono Bangun Luxury Glamping di Tepi Danau