Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Mata Uang I Redenominasi Bisa Dianggap Sebagai Indikasi Adanya Persoalan Ekonomi yang Akut

Bisa Picu Hiperinflasi, BI Jangan Paksakan Redenominasi

Foto : ISTIMEWA

BANK INDONESIA (BI)

A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia perlu belajar dari kegagalan Brasil, Russia, dan Argentina dalam redenominasi.

» Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi saat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia diminta lebih fokus menyelesaikan permasalahan bangsa yang mendesak seperti pengentasan kemiskinan, penanganan stunting, dan penanggulangan dampak pemanasan global ketimbang menguras energi untuk melakukan redenominasi rupiah.

Redenominasi sendiri adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, yang diminta pendapatnya mengatakan bahwa rencana redenominasi rupiah sama sekali tidak penting dilakukan.

"Melihat perkembangan ekonomi domestik dan dan global, redenominasi itu sangat tidak urgen dilakukan saat ini," tegas Riefky pada Koran Jakarta, Senin (26/6).

Menurut Riefky, tak ada kegentingan yang bersifat memaksa untuk melakukan redenominasi. Demikian pula dalam konteks agar kurs rupiah terjaga juga tidak membutuhkan redenominasi rupiah.

Hal yang paling penting dilakukan pemerintah dan BI saat ini adalah bagaimana agar perekonomian stabil dan terus tumbuh. Tentu dengan menjaga stabilitas inflasi, mendorong hilirisasi, serta menarik investasi sebanyak mungkin agar investor global tidak memilih negara lain. Investasi, paparnya, akan memberi efek positif terhadap penyerapan tenaga kerja dalam negeri sehingga mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

Redenominasi, katanya, akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat jika sosialisasi minim dan tanpa mempertimbangkan kesiapan masyarakat.

"Kalau minim sosialisasi akan terjadi kebingungan di masyarakat. Ini membuat adopsi dengan denominasi baru menjadi lambat dan menghambat aktivitas ekonomi," katanya.

Diminta dalam kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mengatakan redenominasi rupiah perlu didahului dengan kepastian bahwa masyarakat secara umum memiliki pemahaman yang benar.

Dari sisi kebijakan, redenominasi dapat saja merupakan suatu simplifikasi numerik belaka, dan dapat dilihat juga sebagai petunjuk bahwa tidak ada problem inflasi yang serius.

"Namun demikian, jika masyarakat tidak cukup paham, ada risiko redenominasi justru ditanggapi sebagai indikasi adanya persoalan ekonomi yang akut, misalnya inflasi yang tak teratasi," kata Aloysius.

Oleh karena itu, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat menentukan untuk meminimalisasi risiko-risiko yang tidak diharapkan dari redenominasi rupiah. Meski saat ini kepercayaan terhadap pemerintah cukup memadai, namun pemerintah harus mampu mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa inflasi terkendali dan tekanan eksternal terhadap ekonomi nasional juga minimal.

"Komunikasi publik yang tepat, sehingga ekses negatif bisa diminimalisir," kata Aloysius.

Sebelumnya, BI mengaku siap melakukan redenominasi rupiah dengan menyederhanakan tiga angka di belakang. Wacana tersebut kembali mengemuka setelah Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, meneken Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/ PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020- 2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Rupiah.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), pekan lalu, mengaku sudah menyiapkan sejumlah instrumen untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Bahkan, BI juga sudah menyiapkan desain uang hasil redenominasi.

Lakukan Pembulatan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sebelumnya mengatakan kebijakan redenominasi masih belum tepat dilakukan dalam jangka pendek. Pertimbangannya, sebelum melakukan redenominasi, penting menjaga stabilitas inflasi di kisaran 3 persen, sedangkan inflasi RI masih jauh di atas itu.

"Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi di saat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi. Ini dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan harga ke atas," kata Bhima.

Dia mencontohkan, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang 9.200 rupiah, karena redenominasi harga barang tersebut naik atau dibulatkan jadi 9,5 (setara 9.500 rupiah sebelum redominasi) hingga 10 rupiah (setara 10.000 rupiah sebelum redominasi). Pembulatan dilakukan guna memudahkan transaksi jual beli. Akibatnya, harga barang akan naik signifikan.

"Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. Akibatnya apa? Hiperinflasi yang memukul daya beli," katanya.

Indonesia, jelasnya, perlu belajar dari kegagalan Brasil, Russia, dan Argentina dalam redenominasi. Ketiga negara tersebut kurang melakukan persiapan teknis, sosialisasi, dan kepercayaan terhadap pemerintah rendah.

"Dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang cukup besar di Indonesia setidaknya butuh waktu 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat. Menjelang pemilu, risiko redenominasi gagal juga tinggi," kata Bhima.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top