Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian - Pemerintah Didesak Naikkan HPP Gabah Kering Giling Jadi Rp6.000/ Kg

Biaya Produksi Padi Kian Meningkat

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kenaikan biaya produksi padi membuat kehidupan petani makin terpuruk. Karena itu, penyelenggara negara diharapkan segera memutuskan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) yang baru lantaran ketetapan yang berlaku saat ini tak lagi mampu menutupi biaya produksi.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, mengatakan biaya produksi padi melonjak tinggi selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, pendapatan petani tertekan.

Berdasarkan hasil perhitungan AB2TI saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2019 biaya produksi mencapai 4.523 rupiah per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP), sedangkan saat ini (2022) biaya produksi telah melonjak menjadi 5.876 rupiah per kg GKP.

"Kenaikan biaya produksi yang tinggi tersebut disebabkan naiknya harga seluruh komponen biaya usaha tani, meliputi sewa lahan, upah buruh tani, dan sarana produksi yang naik dalam kisaran 25-35 persen selama tiga tahun terakhir ini," terang Dwi yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Koran Jakarta, Rabu (28/9).

Berkaitan dengan hal tersebut, AB2TI, terang Dwi, mengusulkan agar pemerintah segera memutuskan kenaikan HPP baru yang sebelumnya 4.200 menjadi 6.000 rupiah per kg gabah kering panen (GKP).

Dengan kenaikan HPP diharapkan petani menjadi bersemangat kembali sehingga perlahan-lahan produksi padi dapat mengalami peningkatan di tengah penurunan produksi sebesar 0.35 persen per tahun selama pemerintahan saat ini (2015-2021).

Menambahkan Dwi, Sekretaris Jenderal AB2TI, Suroso, memaparkan dari hasil kajian dan survei AB2TI bulanan selama hampir tiga tahun terjadi kecenderungan penurunan harga gabah dan beras di tingkat usaha tani mulai Agustus 2019 hingga Juni 2022.

Saat ini, terang Suroso, bertanam padi tidak menguntungkan, hal ini menyebabkan sebagian petani beralih komoditas sehingga produksi padi justru mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir yaitu sebesar 7.7 persen (2019), naik sangat kecil sebesar 0.09 persen (2020) dan turun lagi 0.42 persen (2021).

"Iklim kemarau basah (La Nina) di 2020 dan 2021 tidak membantu peningkatan produksi, padahal selama 20 tahun terakhir fenomena La Nina berhasil meningkatkan produksi pada sangat tajam dengan angka kenaikan terendah di 2007 sebesar 4.7 persen," terangnya.

Ubah Paradigma

Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengingatkan pemerintah terkait dengan kerawanan pangan global. Kondisi ini bakal terus berlanjut dan apabila petani tidak dilindungi dari sisi harga maka produksi domestik akan terancam, sehingga tak mampu menopang ketika suplai pangan global terganggu. Apalagi trennya semakin banyak negara yang melakukan proteksi.

Dia memaparkan kerawanan pangan tentu saja bisa membahayakan stabilitas negara. Karena itu, pemerintah harus mengubah paradigma bahwa pembangunannya tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, namun juga kesejahteraan petaninya.

"Tentu saja soal kepastian harga, dukungan sarana dan fasilitasi penguatan kapasitas menjadi keharusan. Apalagi biaya produksi semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini semakin memberatkan petani," tandas Said.

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, pada kesempatan lain, mengatakan ke depannya pemerintah berupaya agar Bulog bisa membeli beras dengan harga mahal ke petani, tetapi menjual murah ke konsumen. "Nantinya, pemerintah akan menyiapkan dana khusus untuk mengganti selisih harga beras," tuturnya.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top