Biar Tetap Jadi Tujuan Investasi, RI Semestinya Tak Gabung BRICS
Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni menilai, dengan bergabung ke BRICS Indonesia malah memilih masuk ke “laut kecil” bukan ke “samudera" yang lebih luas
Foto: istimewaJAKARTA-Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan momentum menjadi negara tujuan investasi asing (FDI) seiring dengan keputusannya bergabung ke blok ekonomi BRICS yang dimotori China, Russia dan sejumlah negara lainnya.
Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Sabinus Beni mengatakan, Indonesia punya potensi ekonomi sangat besar, tetapi dengan bergabung ke BRICS kita berpotensi bukan menjadi pilihan Foreign Direct Invesstment (FDI). Ini bisa memicu stagnasi investasi asing di RI.
"Perlunya Indonesia menempatkan posisi yang tepat di antara blok ekonomi yang ada, agar tetap mendapat limpahan aliran modal, baik di pasar keuangan maupun di sektor riil,"ungkapnya dari Pontianak, Kalbar menanggapi keputusan RI bergabung ke BRICS.
Sabinus yang merupakan Dosen Kewirausahaan Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalbar itu berujar, kondisi perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan dukungan yang lebih luas dari banyak negara. Tanpa bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS (Brasil, Russia, India, China dan Afrika Selatan), Indonesia sudah mendapat dukungan dari Tiongkok. Namun, sikap Pemerintah yang memilih bergabung ke blok ekonomi yang beberapa anggotanya negara-negara dengan aliran ekonomi sosialis dinilai malah merugikan karena menutup sumber bantuan yang lebih besar dari Amerika Serikat (AS), Jepang, Taiwan, negara-negara Eropa, dan Korea Selatan.
"Indonesia dinilai malah memilih masuk ke “laut kecil”, bukan ke “samudera yang lebih luas,"ucap Sabinus lagi.
Mestinya menurut dia, pemerintah meniru Vietnam yang ragu bergabung dengan BRICS. Negara tersebut mempertimbangkan hubungan ekonominya yang berkembang dengan Washington (AS) dibanding manfaat bergabung dengan blok yang dianggap sebagi penangkal pengaruh global di bawah pimpinan AS. Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025, seperti diumumkan oleh pemerintah Brasil yang menjadi presidensi BRICS tahun ini.
Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi Forensik Sektor Publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Akuntansi Sektor Publik (APSAE), Dian Anita Nuswantara, mengatakan, seharusnya RI lebih jeli sebelum mengambil keputusan untuk bergabung dengan BRICS, agar tidak justru dimanfaatkan dan merugikan pengusaha lokal.
Menurutnya, Pemerintah sebaiknya lebih fokus meningkatkan daya saing dan mendorong pembukaan lapangan kerja agar tercipta iklim ekonomi yang lebih bergairah. “Bergabung dengan BRICS, tidak bisa hanya dipandang dari peluang pasar bagi produk ekspor Indonesia dengan asumsi Tiongkok dan Russia memiliki populasi penduduk yang sangat besar,” kata Dian.
Apalagi, Tiongkok secara ekonomi sangat mendominasi BRICS, hal itu justru akan menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi produk produk Tiongkok. Bahkan Indonesia akan semakin bergantung pada investasi dan perdagangan dengan Tiongkok.
Industri dalam negeri semakin digencet industri Tiongkok seperti sudah terjadi saat ini dan tekanan itu semakin besar. Belum lagi sanksi dunia ke Russia, bisa bisa menyeret Indonesia pada posisi politik yang tidak menguntungkan.
“Dari perhitungan awal saja, kita akan menciptakan jarak dengan Barat yang mana kontribusi dari hubungan selama ini lebih nyata,” kata Dian.
Sebetulnya tanpa bergabung dengan BRICS, anggotanya akan tetap menjaga hubungan ekonomi dengan Indonesia karena potensi pasar yang sangat seksi, tinggal dikelola secara profesional. Lebih baik pemerintah menghidupkan perekonomian dengan menggerakkan pertanian dan memperkuat ekonomi perdesaan serta sektor lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. “Kalau kita bisa konsisten berantas korupsi, insentif untuk investor, dan perkuat daya saing, sudah akan jadi modal kuat menjadi negara maju,” tuturnya.